Menyusuri Lo'ko Bubau, Kehidupan Bawah Tanah di Selatan Sulawesi

By , Kamis, 22 Oktober 2015 | 17:00 WIB

Berlibur tanpa didukung aktivitas petualang rasanya tidak cukup memuaskan hati. Terlebih lagi bagi Anda para petualang sejati yang menaruh rasa kagum kepada tanah air Indonesia. Kekayaan alam yang sangat sayang bila hanya dinikmati lewat foto membuat rasa penasaran membuncah untuk terjun langsung di dalamnya.

Dalam perjalanan ini, kami akan mengajak Anda menuju suatu wilayah di Indonesia dengan topografi yang unik. Terbentuk dengan kondisi geologi yang didominasi oleh karst, tebing curam, dan dinding tegak vertikal membuat wilayah ini menyimpan 1001 rahasia kehidupan bawah tanah yang wajib untuk diungkap.

Mari menjelajah Lo’ko (Gua) Bubau yang terletak di Kabupaten Enrekang, berjarak kurang lebih 230 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan. Perjalanan panjang dari Makassar menuju Enrekang kurang lebih menghabiskan delapan jam. Tak perlu khawatir dirundung rasa bosan, karena usai melewati gapura Kabupaten Enrekang, Anda akan disuguhi kemegahan hamparan karst yang mengunci pandangan mata. Momen yang tidak boleh Anda lewatkan adalah menikmati perjalanan dari Panorama menuju Kecamatan Baraka. Kunci pandangan Anda ke arah kanan agar tak melewatkan rayuan dari Nona yang memiliki lekuk lembah gunung yang menurut warga visualnya menyerupai alat genital perempuan. Satu hal lagi yang menjadi bonus bila melakukan perjalanan di kala kemarau adalah lembah dan bukit-bukit yang diselimuti warna cokelat keemasan, meski gersang kawasan ini tetap menarik untuk diamati.

Sesampainya di Baraka kami harus berganti mobil untuk menuju Lo’ko Bubau. Amar, seorang driver hardtop yang siap mengantar kami mengatakan bahwa jalan yang harus ditempuh bukanlah aspal pada umumnya. “Nanti kita jumpa batu-batu sebesar ini,” ujarnya sembari menunjuk ban mobil kami yang siap melaju.

Perjalanan yang mengguncang

 

Perjalanan dari Baraka menuju Lo'ko Bubau hanya dapat ditempuh dengan kendaraan trail. Medan yang berbatu dengan belokan yang menukik menuntut kelihaian pengemudi untuk sanggup melewatinya. (Sekar Rarasati)

 

“Masih setengah jalan lagi,” ujar Amar memprediksi sisa waktu tempuh kami. Perlahan kami meninggalkan Parinding dan Banti, dua desa yang masih memiliki infrastruktur yang memadai, jalan yang kami lalui selama 30 menit adalah aspal dan masih terdapat rumah-rumah warga yang memadati desa keduanya.

Tetapi bersiaplah ketika Anda mulai melihat papan penunjuk arah menuju Desa Kadingeh. ‘Batu sebesar mobil’ yang dikisahkan Amar bukanlah hiperbola. Tak jarang kami harus bergelantungan pada atap mobil agar tak terlempar ke kanan atau ke kiri. Guncangan demi guncangan kami rasakan setiap kali mobil menukik dengan berani. Sekadar tips bagi Anda yang tidak terbiasa dengan guncangan-guncangan hebat pastikan tidak mengisi perut terlalu penuh untuk mengurangi rasa mual.

Berbeda dengan posisi duduk kawan-kawan, saya memutuskan untuk berselonjor di bangku belakang dan membelakangi mereka. Sedikit lebih nyaman duduk di posisi ini, sembari menikmati mobil yang terus bergoyang, saya dapat mengamati jalan yang perlahan kami tinggalkan. Berbeda dengan dua desa sebelumnya, Kadingeh bukanlah desa yang padat penduduk. Selama melewati desa ini jarang saya temukan rumah warga yang bertengger, melainkan hewan-hewan ternak yang sedang berteduh dari terik matahari. Perjalanan ini lekat dengan debu dan tanah kering yang berhamburan oleh gesekan kaki-kaki mesin tua yang kami kendarai, meski demikian menjadi bumbu yang menggugah semangat perjalanan kami sebagai seorang petualang.

Masih 500 meter lagi jalan yang harus ditempuh menuju mulut Gua Bubau. Dibutuhkan kehati-hatian untuk menerobos semak belukar yang menghadang. (Sekar Rarasati)

Ujung jalan menjadi pemberhentian kami selanjutnya. Tepat di pos ini kami meninggalkan mobil untuk menuju mulut Lo’ko Bubau, kurang lebih sekitar 500 meter lagi yang harus kami tempuh dengan berjalan kaki. Dituntut harmonisasi antara derap langkah dan pandangan mata untuk menerobos semak belukar yang menghadang. Suara air yang mengalir deras terdengar tak jauh dari lokasi ini. Hal lain yang menarik perhatian kami adalah hamparan lahan yang hangus terbakar. “Dua minggu lalu saya datang belum terbakar seperti ini,” ujar Darwin, warga Baraka yang bersedia memimpin kami untuk menyusuri Lo’ko Bubau. Semestinya lokasi ini menjadi bagian dari 40% kawasan lindung yang dikonservasi oleh Pemerintah, tetapi pemandangan sekitar menunjukkan lemahnya pengawasan.

Kurangnya pengawasan terhadap hutan lindung di kawasan Bubau menyebabkan lahan berhektar-hektar mudah hangus terbakar oleh kesengajaan. (Sekar Rarasati)

!break!

Bau yang tak sedap

 

Lo'ko Bubau atau Gua Bau yang terletak di Desa Kadingeh, Kecamatan Baraka, Kabupaten Enrekang, Sulawesi Selatan sempat menjadi tempat wisata umum yang dikunjungi oleh ribuan pengunjung sejak 2012. Kini Bubau hanya berperan sebagai lokasi pelatihan dasar pecinta alam. (Sekar Rarasati)

 

Mulut Gua Bubau sudah ada di depan mata kami, sesuai dengan makna dari nama yang disematkan, gua ini memang mengumbar bau yang tak sedap. Menurut warga, bau tak sedap ini berasal dari kotoran kelelawar yang menumpuk di dalam. Beberapa kali kami mendapati kelelawar menerobos keluar dari dalam gua. Berdiameter kurang lebih delapan meter dengan tinggi lima meter dan dihiasi oleh stalaktit yang meruncing menghadirkan nuansa misterius.

Sebelumnya pada tahun 2012, setelah gua ini ditemukan, warga sempat menjadikan Lo’ko Bubau sebagai destinasi wisata yang terbuka untuk umum. Para pengunjung diperbolehkan masuk dengan biaya sewa penerangan lampu senilai Rp 25,000. “Masuk ke tahun 2013 ribuan orang datang ke sini,” tambah Darwin. Selama setahun ribuan orang yang beruntung mendapatkan kesempatan menyusuri Bubau. Sayangnya pihak pengelola yang mengesampingkan keselamatan gua membuat kondisi Lo’ko Bubau memburuk dan tak terawat.

Usai menjadi lokasi wisata yang digandrungi pengunjung selama setahun gua ini beralih fungsi sebagai lokasi pendidikan pecinta alam. Strategis dengan sungai yang mengalir tak jauh dari mulut gua membuat Bubau menjadi lokasi langganan pelatihan survival.

!break!

Masih menjadi rahasia

 

Salah satu stalagmit yang menghuni Gua Bubau menyerupai kumpulan manusia yang telah merunduk. Hingga saat ini belum diketahui secara pasti berapa usia gua ini. (Sekar Rarasati)

“Gua ini sudah mati. Lihat, ini (stalagmit) mati karena disentuh oleh manusia. Sentuhan itu membawa mikroorganisme yang dapat membunuh pertumbuhan stalaktit ataupun stalagmit,” ujar Darwin sembari menyorot stalagmit dengan cahaya lilin. Kami menyusuri gua dengan penerangan yang sederhana, berbekal senter dan lilin kami mencoba mengamati isi Lo’ko Bubau.

Tanah liat, batu gamping, dan air adalah tiga unsur yang pasti kami jumpai. 10 menit pertama penyusuran kami lalui dengan mudah, berkawan gemericik air yang menetes dari stalagmit dan aliran sungai yang menggenang semata kaki kami. “Kalau musim hujan airnya bisa menyentuh pinggang,” ujar Darwin. Tak jarang kami harus menyerahkan diri pada genangan air yang terlalu dalam dan sulit untuk dihindari.

Minimnya penerangan membuat kami harus merasakan keindahan gua dengan mengedepankan seluruh indera. Sesekali kami mengarahkan seluruh senter ke atap gua, tersorot beberapa salagmit berwarna merah kekuningan yang masih meneteskan mineral. Ada pula yang berwarna putih dan bentuknya menyerupai segerombolan orang yang sedang bersimpuh. Ornamen-ornamen ini terbentuk dengan alaminya, di antaranya stalagmit dan stalaktit beradu hingga membentuk pilar yang menghadang. Sayangnya sejak gua ini ditemukan belum ada pihak yang bersedia melakukan penelitian secara resmi, sehingga belum diketahui secara jelas berapa usia Bubau.

Gua Bubau sekiranya memiliki diameter sekitar delapan meter dengan tinggi lima meter. Ornamen pilar yang terjadi oleh bertemunya stalagmit dan stalaktit menghadirkan kemegahan dalam kegelapan. (Sekar Rarasati)

Membutuhkan kesabaran untuk menyusuri Gua Bubau karena tidak ada petanda khusus yang menandai seberapa jauh perjalanan yang kami tempuh. Usai melewatkan 90 menit pertama perjalanan kami harus terhenti, di antara bisikan-bisikan kelelewar yang terganggu tidurnya. Jalan yang dilalui pemimpin kami saat dua minggu lalu kini tak terlihat. “Longsor!” pekik Darwin kepada teman-teman komunitas yang turut mendampingi kami. Sebelumnya Darwin memang sempat menjelaskan kepada kami bagaimana aktivitas di luar gua yang dilakukan oleh warga telah merusak kehidupan bawah tanah ini. Pembakaran lahan dan buruknya pengelolaan kawasan lindung menyebabkan Bubau kerap longsor. Begitu juga dengan stalaktit sebesar balita yang kami temukan terguling di tengah perjalanan.

Penelusuran akan segera berakhir usai menaiki tangga yang dibuat oleh warga pada tahun 2012 lalu. Di sebelah kanan terlihat cahaya yang menerobos masuk siap menuntun kembali ke peradaban. (Sekar Rarasati)

Pencarian jalan keluar baru dilakukan oleh Darwin dan kawan-kawan. Mereka mencoba mencari celah di segala penjuru, berharap menemukan sinar matahari yang menerobos masuk dan menuntun kami untuk keluar. Setelah 30 menit berlalu akhirnya angin segar menghampiri kami. Jalan alternatif yang siap membebaskan kami akhirnya ditemukan, kesabaran ini menyelamatkan kami dari niat untuk menyusuri jalan yang telah dilalui.

Angin menerobos, menandakan bahwa mulut gua sebentar lagi kami akan jumpai mulut gua. Semangat kembali membuncah untuk merayakan keberhasilan kami dalam menyusuri Gua Bubau dengan selamat. “Naik ke tangga!” suara itu terdengar sebelum langkah terakhir saya keluar dari lorong yang cukup sesak untuk dilewati satu orang. Akhirnya kami melihat cahaya itu, mereka yang menerobos masuk dan siap menuntun kami untuk keluar. Satu per satu kami menaiki anak tangga yang disediakan oleh warga ketika Bubau dijadikan tempat wisata.

!break!

Menuju pintu keluar Gua Bubau medan berpasir harus dilalui dengan waspada karena tidak terdapat alat bantu tali atau tangga langsung menuju luar. (Sekar Rarasati)

Nafas lega kami hela bersamaan dengan syukur yang terucap. Dari pintu keluar ini kami mencoba menelusuri kembali mulut gua yang kami masuki. Gua horizontal ini seperti keong, kedua mulutnya ternyata berdekatan, meskipun terlihat dekat perjalanan ini kami tempuh selama 150 menit. Perjalanan yang menegangkan diselingi lawakan seorang kawan berhasil melengkapi petualangan kami di Sulawesi Selatan. Mengulik langsung keadaan Lo’ko Bubau yang kian tak terawat, kehidupan yang hampir mati. Sembari kembali pulang ke Baraka kami berandai bila Lo’ko Bubau suatu saat nanti dapat menjadi destinasi wisata pilihan di Indonesia. Tentunya setelah mendapat perawatan serta perlindungan dari pemerintah, dan tentunya komitmen dari semua yang merasa memilikinya.

Bubau belum mati. Keberadaannya masih menjadi rahasia. Sejarahnya belum benar terungkap. Dan apa yang tertinggal di dalamnya, bisa menjadi pembelajaran bagi siapa saja yang menaruh rasa kagum terhadap kekayaan Indonesia.