Suka atau Tidak, Halloween akan Terus Menjadi Festival Global

By Utomo Priyambodo, Selasa, 1 November 2022 | 10:00 WIB
Para tamu pesta Halloween menikmati makanan segar dari truk-truk jajanan dalam pesta dansa berkostum. (Gerd Ludwig/National Geographic)

Nationalgeographic.co.id - Perayaan Halloween pada tahun 2022 ini mengundang kontroversi. Perayaan Halloween di Korea Selatan, misalnya, telah menyebabkan lebih dari 150 orang meninggal.

Kontroversi lainnya adalah perayaan Halloween di Arab Saudi yang selama ini dikenal negara islam yang menolak keras budaya barat.

Di banyak negara, Halloween yang dirayakan setiap 31 Oktober telah menjadi hari libur nasional. "Ini adalah hari kebebasan, pelanggaran, dan kurangnya hambatan," kata Nicholas Rogers, seorang sejarawan di York University di Toronto dan penulis buku Halloween: From Pagan Ritual to Party Night.

"Dan, tentu saja, media sosial sangat mendorong hal semacam ini," ujar Rogers kepada National Geographic.

Perayaan Halloween diyakini berakar dari budaya Celtic. Inggris, Amerika Serikat, dan Kanada adalah rumah bagi banyak orang keturunan Celtic, orang-orang kuno yang merayakan festival asal muasal Halloween.

Tetapi bahkan di tempat-tempat tanpa koneksi Celtic, ornamen manis Halloween tetap ada. Di Jerman, misalnya, Halloween telah berkembang pesat dalam 30 tahun terakhir, terutama di kalangan anak muda.

Dieter Tschorn, seorang konsultan untuk Novelty Retailers Association, mengatakan kepada Der Spiegel pada tahun 2013 bahwa ia menganggap dirinya sebagai "bapak Halloween di Jerman."

Ketika Perang Teluk 1991 mengganggu perayaan Karnaval di Jerman, Tschorn memutuskan untuk membantu para kliennya memulihkan pendapatan yang hilang. Terinspirasi oleh pesta Halloween militer AS tahunan yang diadakan di Kastil Frankenstein, Tschorn mulai mengirimkan siaran pers tahunan yang menggembar-gemborkan Halloween sebagai festival baru. Ini, pada gilirannya, mengilhami pertumbuhan Halloween di negara ini.

Di belahan dunia lain, orang-orang Jepang merayakan dengan gaya mereka sendiri. Alih-alih trick-or-treating atau mendekorasi rumah mereka, mereka sering menikmati alter-ego, hiburan "permainan kostum" yang menunjukkan sisi lain diri mereka.

Apa yang dimulai di Tokyo Disney Resort itu kini telah tumpah ke jalanan. Parade Labu Halo Halloween Haraiuku-Omotesando tahunan menarik ribuan anak-anak berkostum, dan kerumunan yang menonton Parade Halloween Kawasaki membengkak menjadi lebih dari 100.000, menurut BBC.

Meski Halloween kini sangat populer, banyak orang dengan keras menentang festival itu di negara mereka. Alasannya karena keberatan agama atau ketakutan akan imperialisme budaya.

Baca Juga: Inilah Kisah Tentang Sejarah Halloween: Perayaan Untuk Para Hantu