Aritonang menganalisis mereka semua merupakan pelarian dari Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD, tempat pemukiman asli Orang Rimba) pada awal 1970-an atau 1980-an yang berpindah ke selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh dengan beragam alasan: konflik internal, kesulitan mendapatkan buruan, termasuk terdesak hidup sejak kawasan hidup mereka ditetapkan menjadi TNBD.
“Tapi agak sulit dimengerti jika hanya karena faktor tunggal: asap, lalu mereka pergi ke Riau. Tidak sesederhana itu,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia (19/10).
Menurut Aritonang, alasan yang paling logis kepergian Orang Rimba ke Riau adalah motif ekonomi, yaitu berburu labi-labi yang merupakan pencaharian utama kala musim kemarau. Ketika labi-labi mulai habis karena perburuan mereka bergerak ke Sungai Siak dan Kampar di Riau. Tampaknya, kebakaran hanyalah faktor ikutan yang mendorong mereka pergi ke tempat lain.
Sebelum dikomoditaskan, awalnya labi-labi adalah makanan favorit bagi pemenuhan protein Orang Rimba, terutama kaum perempuannya. Saat ini, trenggiling dan labi-labi biasanya dijual ke tauke untuk diekspor. Dari menjual labi-labi Orang Rimba bahkan bisa membeli motor.
Masalah Sosial Baru
Tumenggung Jelitai, salah satu pemimpin Orang Rimba Kelompok Kejasung Besar Ilir yang tinggal di sebelah utara TNBD memiliki penjelasan lain tentang fenomena adanya kelompok Orang Rimba di Pekanbaru.
Jelitai mengenali bahwa pemimpin rombongan itu bernama Meriau – yang berasal dari Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. “Cuma Meriau yang saya kenal, selebihnya sayo dak kenal,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia (20/10).
Jelitai mengaku Meriau sempat menginap di tempatnya tinggal. Dari Meriau kepada Jelitai, mereka sempat dua minggu di Riau. Aktivitas utama mereka adalah mengemis.
Menurut Jelitai, kelompok Meriau memang sudah terbiasa mengemis secara berkala ke Riau, bahkan sampai ke Palembang, Sumatra Selatan. Kelompok Bejamping juga melakukan hal yang sama: mengemis.
“Kalau pendapat sayo, pasti ado orang di belakang mereka. Ado yang bawa mereka. Masak biso ke Riau. Itu dak masuk akal,” kata Jelitai berpendapat.
Jelitai menolak jika alasan utama kepergian mereka karena kebakaran lahan. Dia membenarkan konsesi PT Sawit Desa Makmur (SDM) yang sudah dua bulan lebih terbakar 1.000 hektar lebih. Sudah 16 tahun sejak PT SDM mendapatkan izin HGU seluas 14.225 hektar tapi hanya 2.000 hektar lebih yang dikelola. Sisanya telah diokupasi masyarakat dengan tanaman karet. Nah, kebun karet rakyat inilah yang terbakar.
Bagi Aritonang fenomena kesenjangan sosial yang ada antara Orang Rimba dan masyarakat umum melahirkan masalah sosial baru. Orang Rimba terombang-ambing antara keterasingan dan kemajuan fisik yang ada di luar mereka.
“Bayangkan saat sungai sudah tercemar, jernang lenyap, sumber buruan habis. Mereka memilih menjadi pengemis, bahkan masuk ke kota. Mereka biasa menjelajah dan jika mereka berkolaborasi dengan pihak yang kriminal, identitas budaya mereka bisa diperalat,” jelas Aritonang berpendapat.
“Itu kerisauan saya. Sadar atau tidak sadar, mungkin di awal-awal mereka tidak sadar namun lama-lama mereka nikmati. Saya rasa pemerintah belum menangani persoalan mereka dengan baik.”