Antropolog Robert Aritonang hanya geleng-geleng kepala melihat foto rombongan Orang Rimba yang tersesat di Pekanbaru, Riau. Persisnya di pertigaan Jalan Sudirman dan Tuanku Tambusai, mereka tampak menggunakan tiga sepeda motor berboncengan lima sampai tujuh orang.
Mereka dicegat dua anggota Satlantas Polresta Pekanbaru karena tak berhelm dan tak berpelat nomor. Padahal, kawasan itu merupakan jalur padat di Pekanbaru.
Seperti diberitakan Detik, Polisi sempat bertanya, mengapa masuk kawasan kota tanpa helm dan malah berboncengan lebih dari satu. Sepeda motor terdepan berboncengan tiga orang dewasa, terdiri dari suami istri dan dan satu mertua.
Sepeda motor kedua berpenumpang dua wanita dewasa, satu pria pembawa motor plus empat anak-anak. Dua anak duduk di belakang, dua anak lainnya di depan. Total penumpangnya tujuh orang.
Motor ketiga, paling belakang berisi pasangan suami istri dengan empat anak-anak. Satu anak-anak duduk paling belakang, satu balita digendong ibunya, dua anak duduk di depan. Setiap motor membawa bekal berbungkus plastik.
“Mereka mengaku suku pedalaman dari Jambi. Mereka sebut, mereka orang dari dalam hutan,” ujar Bripka Dendi, salah satu dari polisi itu.
Kepada polisi, mereka mengaku tersesat sampai ke Pekanbaru, Riau. Mereka keluar dari dalam kawasan hutan di Jambi karena terkepung asap yang pekat.
Kedua polisi itu akhirnya hanya bisa menasehati agar berhati-hati selama di perjalanan. Kemudian mengawal rombongan itu dari Jalan Sudirman menuju Jalan Harapan Raya sebagai pintu keluar menuju Jambi. Dari Pekanbaru sampai ke Kabupaten Indragri Hilir perbatasan Provinsi Jambi, jaraknya sekitar 250 km.
Pada hari yang sama pula, Ketua Ikatan Muslim Riau Andalan (IMRA), Wan Jakh Anzah menemukan 20 Orang Rimba – juga berasal dari Jambi.
Kelompok kedua Orang Rimba ini mengaku berjalan kaki menyusuri hutan tiba di Kabupaten Pelalawan, Riau tepatnya di Jalan Lintas Timur, Riau menuju Jambi setelah melewati Payakumbuh, Sumatra Barat. Mereka hanya membawa bekal seadanya.
Di jalan lintas timur, mereka tidur di tepi jalan dengan membentang tikar. Lagi-lagi mereka mengaku sampai ke sana gara-gara terkepung asap akibat hutan terbakar.
Robert Aritonang yang juga Koordinator Program Pemberdayaan Masyarakat KKI Warsi itu mencoba mengenali siapa saja Orang Rimba tersebut sembari menduga-duga kenapa mereka sampai ke Pekanbaru dan Pelalawan. Menurut dugaan Aritonang, kelompok pertama adalah Orang Rimba yang berasal dari Kecamatan AIR Hitam, Kabupaten Sarolangun.
Kelompok kedua merupakan kelompok Belarik Tampung yang memiliki nama Bejamping dalam KTP-nya. Juga berasal dari Air Hitam yang tinggal dekat konsesi PT Jambi Agro Wijaya (JAW) – anak perusahaan Sinar Mas Group. Konsesi PT JAW dilaporkan terbakar sejak September lalu.
Aritonang menganalisis mereka semua merupakan pelarian dari Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD, tempat pemukiman asli Orang Rimba) pada awal 1970-an atau 1980-an yang berpindah ke selatan Taman Nasional Bukit Tigapuluh dengan beragam alasan: konflik internal, kesulitan mendapatkan buruan, termasuk terdesak hidup sejak kawasan hidup mereka ditetapkan menjadi TNBD.
“Tapi agak sulit dimengerti jika hanya karena faktor tunggal: asap, lalu mereka pergi ke Riau. Tidak sesederhana itu,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia (19/10).
Menurut Aritonang, alasan yang paling logis kepergian Orang Rimba ke Riau adalah motif ekonomi, yaitu berburu labi-labi yang merupakan pencaharian utama kala musim kemarau. Ketika labi-labi mulai habis karena perburuan mereka bergerak ke Sungai Siak dan Kampar di Riau. Tampaknya, kebakaran hanyalah faktor ikutan yang mendorong mereka pergi ke tempat lain.
Sebelum dikomoditaskan, awalnya labi-labi adalah makanan favorit bagi pemenuhan protein Orang Rimba, terutama kaum perempuannya. Saat ini, trenggiling dan labi-labi biasanya dijual ke tauke untuk diekspor. Dari menjual labi-labi Orang Rimba bahkan bisa membeli motor.
Masalah Sosial Baru
Tumenggung Jelitai, salah satu pemimpin Orang Rimba Kelompok Kejasung Besar Ilir yang tinggal di sebelah utara TNBD memiliki penjelasan lain tentang fenomena adanya kelompok Orang Rimba di Pekanbaru.
Jelitai mengenali bahwa pemimpin rombongan itu bernama Meriau – yang berasal dari Bukit Suban, Kecamatan Air Hitam, Kabupaten Sarolangun. “Cuma Meriau yang saya kenal, selebihnya sayo dak kenal,” ujarnya kepada Mongabay Indonesia (20/10).
Jelitai mengaku Meriau sempat menginap di tempatnya tinggal. Dari Meriau kepada Jelitai, mereka sempat dua minggu di Riau. Aktivitas utama mereka adalah mengemis.
Menurut Jelitai, kelompok Meriau memang sudah terbiasa mengemis secara berkala ke Riau, bahkan sampai ke Palembang, Sumatra Selatan. Kelompok Bejamping juga melakukan hal yang sama: mengemis.
“Kalau pendapat sayo, pasti ado orang di belakang mereka. Ado yang bawa mereka. Masak biso ke Riau. Itu dak masuk akal,” kata Jelitai berpendapat.
Jelitai menolak jika alasan utama kepergian mereka karena kebakaran lahan. Dia membenarkan konsesi PT Sawit Desa Makmur (SDM) yang sudah dua bulan lebih terbakar 1.000 hektar lebih. Sudah 16 tahun sejak PT SDM mendapatkan izin HGU seluas 14.225 hektar tapi hanya 2.000 hektar lebih yang dikelola. Sisanya telah diokupasi masyarakat dengan tanaman karet. Nah, kebun karet rakyat inilah yang terbakar.
Bagi Aritonang fenomena kesenjangan sosial yang ada antara Orang Rimba dan masyarakat umum melahirkan masalah sosial baru. Orang Rimba terombang-ambing antara keterasingan dan kemajuan fisik yang ada di luar mereka.
“Bayangkan saat sungai sudah tercemar, jernang lenyap, sumber buruan habis. Mereka memilih menjadi pengemis, bahkan masuk ke kota. Mereka biasa menjelajah dan jika mereka berkolaborasi dengan pihak yang kriminal, identitas budaya mereka bisa diperalat,” jelas Aritonang berpendapat.
“Itu kerisauan saya. Sadar atau tidak sadar, mungkin di awal-awal mereka tidak sadar namun lama-lama mereka nikmati. Saya rasa pemerintah belum menangani persoalan mereka dengan baik.”