Akar Historis Saminisme dan Ajaran Filosofis Samin Surosentiko

By Galih Pranata, Jumat, 3 Desember 2021 | 08:00 WIB
Pohon jati besar (Tectona grandis) yang didorong oleh Gerakan Samin untuk dimanfaatkan penduduk Blora sebagai pemenuhan kebutuhan hidup. (Wikimedia Commons)

Nationalgeographic.co.id—Samin Surosentiko merupakan seorang tokoh yang disegani di wilayah Blora. Ia lahir pada 1859 di desa Klopo Duwur, sekitar Randoeblatoeng, Blora. 

Ia menginisiasi pergerakan rakyat dalam menentang praktik kolonialisme dan imperialisme yang merugikan rakyat Blora. Hal itu bermula dari peran tangan Boschwezen (Djawatan Kehutanan Hindia-Belanda). 

Boschewezen menetapkan status houtvesterijen (Pengelolaan lahan hutan di beberapa hutan di Blora, termasuk diantaranya, hutan Randoeblatoeng. Penetapan status itu bukan tanpa alasan, mengingat Belanda tengah tergiur dengan hasil penjualan kayu jati yang bernilai di Eropa. 

Penetapan houtvesterij Randoeblatoeng tak memengaruhi seorang Samin Surosentiko. Ia tetap abai dan teguh terhadap pendiriannya. Tak heran, jika ia kerap kali keluar masuk bui akibat tindakan yang ia lakukan. Tindakannya dianggap ilegal, karena dianggap mencuri kayu jati milik pemerintah. 

Sebagaimana sebelum ditetapkannya status houtvesterijen, masyarakat di sekitar hutan Randoeblatoeng secara bebas, memanfaatkan hutan dan kayu jati sebagai keperluan hidup mereka sehari-hari. Itu juga yang terus dilakukan Samin. 

Pemberontakan itu terjadi lantaran status houtvesterijen yang membuat akses rakyat terhadap hutan menjadi sangat terbatas. "Kebijakan itu membuat petani di sekitarnya tak lagi memiliki akses untuk memanfaatkan hasil hutan," tulis Trisnova. 

Restu Trinova menjelaskan kisah tentang awal pemberontakan hingga landasan filosofis yang mendasari adanya gerakan Saminisme. Tulisannya diangkat dalam Jurnal Filsafat, berjudul Studi Komparasi Saminisme dengan Jean Paul Sartre tentang Kebebasan (Tinjauan Filsafat Sosial), yang terbit pada 2010. 

Kondisi semakin diperparah dengan adanya penetapan pajak. "Para petani sendiri tidak mampu menggarap sawah mereka karena terhalang oleh pajak," imbuhnya. Beratnya pajak hanya menjadikan petani sebagai petani penggarap. 

"Hanya berselang dua tahun setelah Belanda mengeluarkan (kebijakan pemungutan) pajak semacam itu, Samin Surosentiko memulai dakwah ajarannya di Afdeeling Blora," lanjutnya. 

Samin mulai melakukan propagandanya untuk menentang praktik-praktik kolonialisme dan imperialisme yang merugikan rakyat Blora, Randoeblatoeng khususnya. Layaknya Mahathma Gandhi, Samin juga menyampaikan buah pikirannya kepada segelintir orang terdekatnya.

Baca Juga: Saat Belanda Menguasai Hutan Blora, Ditentang Samin dan Pengikutnya

Potret Regent (Bupati) Blora, Raden Toemenggoeng Ario Said bersama staffnya pada tahun 1921. (Wikimedia Commons)

"Ajaran Samin secara konseptual menempatkan objek keinginan di dalam diri sendiri," ungkap Trisnova. Pemikirannya melingkupi semua aturan hidup, yang pada dasarnya adalah ajaran untuk 'tidak menginginkan milik orang lain'.

Selain itu, Samin juga mengajarkan hakikat kebebasan manusia." Penolakan-penolakan masyarakat Sikep (pengikut Saminisme) terhadap simbol-simbol negara (kolonial Hindia-Belanda), merupakan salah satu bentuk aktualisasi kebebasan manusia," tambahnya. 

Samin berupaya menanamkan pemikiran yang menjunjung kebebasan pada pengikutnya. "Masyarakat Samin menganggap bahwa manusia diciptakan setara, tidak ada yang mengungguli satu sama lain, sehingga menolak adanya perbedaan dalam masyarakat dan menolak adanya penjajahan," tulis Trisnova. 

Aktualisasi kebebasan itu juga muncul saat masyarakat menolak untuk membayar pajak kepada pemerintah. Ajaran Saminisme agaknya mulai menyebar luas, tidak hanya di Klopo Duwur, tapi juga merebak hingga hampir seluruh wilayah Randoeblatoeng.

Kebebasan versi Samin turut memengaruhi sikap sosial masyarakat pendukungnya. Sikapnya terlihat pada penggunaan bahasa dan pakaian penganut saminis.

Baca Juga: Ajaran Saminisme, Ketika Anarkisme 'Kawin' dengan Paham Kejawen

Houtvester (pengelolan hutan) tengah berpose di sekitar houtvesterij Randoeblatoeng, Blora pada tahun 1916. (Christoffel Hendrik/Wikimedia Commons)

"Mereka tidak mengenal tingkatan bahasa Jawa, jadi bahasa yang dipakai adalah bahasa Jawa ngoko," lanjutnya. "Pakaian orang Samin biasanya terdiri atas baju lengan panjang tanpa kerah dan berwarna hitam," sambungnya.

Sampai pada tahub 1906, Saminisme dianggap sebagai sekte keagamaan yang tak membahayakan pemerintah kolonial. Namun, antusias masyarakat yang memeluk kepercayaan terhadap Samin, membuat Belanda menjadi khawatir. 

Beberapa wilayah seperti Pati, Madiun, Grobogan, Bojonegoro, dan Tuban terdampak pengaruhnya, mendorong bertambahnya penganut Saminis. Isu yang berhembus ke telinga pemerintah, bahwa Saminis yang menguat, akan memberontak pada Maret 1907.

Kepanikan pemerintah kolonial akan tersiarnya kabar tersebut memunculkan tindakan agresif pemerintah. Gerakan Saminisme akhirnya dilarang oleh Belanda, dan pemimpinnya, Samin Surosentiko, ditangkap dan diasingkan ke Padang hingga akhir hayatnya.

Memasuki era modern, para pengikut Samin lebih suka menyebut dirinya dengan Sedulur Singkep atau Wong Singkep. "Mereka tak lagi menggunakan istilah Samin, karena adanya perubahan makna Samin di dalam pemahaman masyarakat sekarang ini," lanjut Trisnova.

"Samin dipahami sebagai sosok yang negatif, cenderung dengan kekonyolan, irasional, bodoh, terbelakang, atau bahkan gila," pungkasnya. Sejarah kolonial juga mencatat demikian, meski dalam perspektif masyarakat lokal di Blora, menganggap Samin adalah tokoh yang berpengaruh di zamannya. 

Baca Juga: Perjuangan Sedulur Sikep dari Tuduhan Komunis sampai Soal Lingkungan