Adakah Sains di Balik Terapi Alternatif Bekam dan Akupuntur?

By Utomo Priyambodo, Kamis, 2 Desember 2021 | 09:00 WIB
Potret reka ulang adegan bekam tanduk. Pengobatan ini terpengaruh tradisi yang berkembang di Tiongkok. (Rahmad Azhar Hutomo/National Geographic Indonesia)

Senada dengan bekam, akupuntur juga merupakan teknik terapi yang berasal dari Tiongkok. Meski sekarang akupunktur cukup umum digunakan oleh para fisioterapis dan profesional medis lainnya, terapi itu tetap dianggap sebagai pengobatan alternatif atau komplementer, yang berarti kemanjurannya masih belum terbukti dan diperdebatkan dengan hangat.

Di Inggris, misalnya, akupunktur direkomendasikan oleh National Health Service (NHS) sebagai pengobatan untuk sakit punggung hingga 2016, ketika penelitian baru muncul yang menunjukkan bahwa praktik tersebut sebenarnya tidak lebih bermanfaat daripada efekplasebo untuk kondisi khusus ini.

Yang perlu diketahui, teknik akupuntur yang digunakan oleh para ahli kesehatan tidak selalu sama dengan yang digunakan oleh para ahli akupunktur Tiongkok yang lebih tradisional. Ini karena pendekatan Barat terhadap teknik ini berakar pada pemahaman ilmiah tentang anatomi fisik, sementara versi akupunktur yang lebih lama cenderung didasarkan pada konsep mistik seperti qi (diucapkan chi), yang mengacu pada kekuatan energi yang tak terlihat.

Baca Juga: Dari Editor: Saling-silang Pengobatan Tradisi Nusantara

Ilustrasi akupuntur. (acupuncturebox/Pixabay)

 

Dalam kedua kasus, bagaimanapun, prinsip dasar teknik ini berpusat di sekitar aktivasi "titik akupuntur" tertentu pada tubuh, yang diduga memiliki kemampuan untuk mempengaruhi fisiologi bagian tubuh yang jauh. Misalnya, memasukkan jarum ke titik akupuntur tertentu dikatakan dapat mengurangi peradangan tubuh. Meski sains di balik klaim ini tidak pernah ditemukan, sebuah studi baru di jurnal Nature mungkin telah menunjukkan salah satu mekanisme yang mendasarinya.

Penelitian baru ini didasarkan pada penelitian sebelumnya yang mengungkapkan bahwa stimulasi elektrik saraf siatik pada tikus memicu komunikasi di sepanjang saraf vagus, yang menghasilkan peningkatan sekresi dopamin oleh kelenjar adrenal. Dopamin ekstra ini menyebabkan pengurangan konsentrasi molekul pro-inflamasi yang disebut sitokin, sehingga mengurangi kemungkinan badai sitokin yang sering mendorong peradangan sistemik yang parah dan bisa berakibat fatal.

Baca Juga: Tato di Tubuh Ötzi Si Manusia Es Ternyata Berasal dari Akupuntur

Dalam studi baru ini, para peneliti menunjukkan bahwa titik-titik akupunktur tertentu dipersarafi oleh neuron-neuron yang memiliki kapasitas untuk mengaktifkan sumbu vagal-adrenal pada tikus. Jadi, upaya merangsang titik-titik ini dapat memadamkan badai sitokin dan mengurangi peradangan di seluruh tubuh. Untuk menghasilkan efek ini, bagaimanapun, neuron-neuron atau sel-sel saraf harus mengekspresikan tingkat tinggi dari reseptor tertentu yang disebut reseptor prokinetikin 213.

Berdasarkan percobaan tikus mereka, para peneliti dalam studi ini menyimpulkan bahwa neuron-neuron ini sangat berlimpah di sekitar titik akupuntur tertentu yang dikenal sebagai Zusanli, yang terletak di kaki belakang. Dengan mengaktifkan titik ini, para peneliti mampu menekan peradangan sistemik setelah tikus terkena endotoksin bakteri. Namun, ketika tikus direkayasa secara genetik untuk kekurangan reseptor ini, akupunktur pada titik Zusanli tidak memiliki efek seperti itu.

Titik akupuntur yang tidak dipersarafi oleh neuron ini, sementara itu, tidak mampu mengaktifkan sumbu vagal-adrenal dan mencegah badai sitokin meletus. Misalnya, titik Tianshi, yang ditemukan di perut, ternyata tidak memiliki fungsi ini.

Karya ini memberikan penjelasan neuroanatomik pertama untuk fungsi titik-titik akupuntur yang berbeda. Namun, itu baru dilakukan pada tikus. Adapun studi manusia skala besar perlu dilakukan terlebih dulu untuk menyelidiki peran masing-masing titik ini dan mengkonfirmasi validitas pendekatan akupuntur secara keseluruhan.

Baca Juga: Riwayat Kiprah Tabib Cina di Nusantara