Tahun lalu, Mahkamah Agung negara itu memutuskan bahwa perempuan yang bercerai berhak atas bagian dari dana pensiun dan uang pesangon mantan suaminya.
Mantan-mantan istri dari guru sekolah negeri, pegawai pemerintahan dan tentara akan menerima setengah dari uang pensiun mantan-mantan suami mereka, setelah undang-undang yang direvisi mulai berlaku tahun depan.
Semakin banyak perempuan mengajukan cerai karena pengadilan semakin mengenali pekerjaan rumah tangga sebagai profesi yang berhak mendapat kompensasi, ujar pengacara yang terlibat dalam beberapa kasus "perceraian perak."
"Aset-aset rumah tangga dibagi merata, bahkan jika suami merupakan pegawai perusahaan dan istrinya ibu rumah tangga yang membesarkan anak-anak di rumah," ujarnya.
Perempuan-perempuan yang menggugat cerai di usia perkawinan yang lanjut juga merasa terjamin dengan iklim pekerjaan yang lebih kondusif.
Perekrutan perempuan di ekonomi terbesar keempat di Asia itu mencapai rekor 49,5 persen tahun lalu, dengan proporsi mereka yang berusia lebih dari 50 tahun terus meningkat mencapai rekor 43,2 persen, atau naik dari 39,7 persen tahun 2010.
Peningkatan angka perceraian di kalangan usia lanjut telah mendorong lebih banyak pernikahan kedua, meskipun kemandirian finansial calon pasangan cenderung menjadi faktor utama dalam keputusan tersebut, di samping kesamaan minat dan hobi.
"Sebelumnya, mereka yang berusia lanjug menganggap pernikahan kembali itu sesuatu yang memalukan," ujar Kim Mi-yeon, eksekutif dari biro jodoh terbesar di negara itu, DUO Marriage Information Co Ltd.
"Sekarang mereka ingin menemukan pasangan hidup baru untuk berbagi hobi."