Kebakaran Hutan Indonesia Lahirkan Bencana Ekologis

By , Kamis, 19 November 2015 | 18:00 WIB

Untuk petani Achmad Rusli, ini musim asap: Sepuluh minggu tanpa sinar matahari untuk pohon-pohon jeruk, jambu dan durian, akibat kebakaran hutan yang melanda Indonesia.

Api akhirnya padam dengan datangnya hujan, tapi terlambat bagi hasil panennya yang terlalu sedikit untuk dijual.

"Kita tidak melihat matahari dalam dua setengah bulan," ujar Rusli, 34, dari Riau, salah satu dari enam provinsi yang paling parah terkena kebakaran hutan. "Bagaimana kita bisa panen buah?"

Bencana ekologis tersebut telah menghasilkan kerugian besar bagi lingkungan, ekonomi dan kesehatan manusia: 2,1 juta hektar hutan dan lahan terbakar, 21 tewas, lebih dari setengah juta orang sakit pernapasan dan Rp 123,8 triliun hilang, dari panen yang rusak sampai ratusan penerbangan yang dibatalkan.  

Perusahaan-perusahaan minyak dan kertas secara ilegal membakar hutan untuk membuka lahan untuk menanam lebih banyak pohon dengan cara semurah dan secepat mungkin. Pemerintah telah menyelidiki lebih dari 300 perusahaan perkebunan dan 83 tersangka telah ditahan, menurut Kepala Kepolisian Republik Indonesia Jenderal Badrodin Haiti. Izin-izin tiga perusahaan perkebunan telah dicabut dan 11 lainnya telah diskors. 

Kebakaran hutan telah menjadi masalah tahunan sejak pertengahan 1990an, namun tahun ini adalah yang terburuk sejak 1997, ketika kobaran api menyebar ke wilayah seluas hampir 10 juta hektar. !break!

Keserakahan adalah penyebabnya. Herry Purnomo, ilmuwan dari Pusat Riset Kehutanan Internasional (CIFOR), mengatakan hanya perlu biaya sekitar Rp 100 ribu untuk membuka satu hektar lahan dengan membakar, dibandingkan dengan Rp 2 juta jika menggunakan traktor. Undang-undang Indonesia melarang pembukaan lahan dengan membakar, kecuali oleh petani skala kecil yang diizinkan sampai 2 hektar. 

Meski demikian, hampir 50.000 kebakaran terdeteksi sejak Juli, menurut data satelit, dengan sebagian besar di Sumatera dan Kalimantan. Tidak adanya hujan akibat fenomena cuaca El Nino membuat situasi lebih parah. 

Kabut tebal memaksa sekolah-sekolah tutup di Singapura dan Malaysia, dan untuk pertama kalinya mencapai Thailand selatan, di mana indeks polusi udara naik sampai tingkat tidak sehat. 

Negara-negara tetangga semakin kritis, meski banyak dari perusahaan-perusahaan minyak kelapa sawit yang beroperasi di Indonesia adalah milik Singapura dan Malaysia. Dan masyarakat Indonesia menghadapi dampak-dampak terburuk. 

Syarif, 46, gagal memanen cabe dan tomat, yang layu dan kisut di pohon. 

"Saya kehilangan segalanya... musim kering dan kabut asap merusak sayuran-sayuran kami," ujar Syarif. "Saya harus mulai lagi dari awal."

Jarak pandang menurun di bawah 50 meter di beberapa daerah, memaksa 13 bandar udara tutup.