Bincang Redaksi-39: Pusparagam Lore Lindu di Jantung Wallacea

By Utomo Priyambodo, Senin, 6 Desember 2021 | 10:00 WIB
Suasana Danau Tambing di kawasan Lore Lindu. (Shutterstock)

Yang pertama adalah keanekaragaman hayatinya yang tinggi. Yang kedua adalah banyaknya situs megalitik yang terhampar di sana.

"Berdasarkan kajian arkeologi, situs-situs itu dipercaya ada sejak lebih dari 3.000 tahun lalu," ucap Ismet. "Ini menandakan wilayah ini sudah menjadi tempat tumbuhnya peradaban sejak lama."

Lore Lindu juga menjadi habitat bagi 77 spesies burung endemik di Sulawesi. Dari 218 Kawasan Burung Endemik atau Endemic Bird Area (EBA) di dunia yang ditetapkan oleh BirdLife International, 46 kawasan di antaranya ada di wilayah Lore Lindu.

"Sehingga ini menjadi indikasi bahwa kawasan ini sangat penting untuk konservasi," tegas Ismet.

Ismet juga mengatakan bahwa pengelolaan kawasan Taman Nasional Lore Lindu perlu diintegrasikan dengan kawasan-kawasan di sekitarnya. Sebab, menurut hasil berbagai studi dan survei, 70 persen spesies yang dilindungi di Indonesia ada di luar kawasan-kawasan konservasi yang telah ditetapkan.

Baca Juga: Pusparagam Cycloop: Pulau Asei, Hunian Seniman Lukis Tradisi Sentani

Pusparagam Lore Lindu: Manusia dan Biosfer di Jantung Wallacea. (Hery Cahyadi & Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Tim National Geographic Indonesia meliput kehidupan alam dan masyarakat di Lore Lindu berikut juga upaya konservasi di kawasan inti dan peyangganya. Didi Kaspi Kasim, Editor in Chief National Geographic Indonesia, menjelaskan bahwa upaya peliputan kawasan Lore Lindu ini merupakan bagian dari program Pusparagam, proyek ekspedisi rutin National Geographic Indonesia untuk merekam kondisi alam dan manusia di berbagai wilayah di Indonesia. "Buat kami, penjelajahan adalah upaya kami untuk membuat lebih banyak orang peduli. Ketika orang-orang peduli, perubahan-perubahan yang baik pasti akan terjadi," ujar Didi.

Dalam ekspedisi pusparagam, tim National Geographic Indonesia kerap menemukan insan-insan yang melakukan perubahan-perubahan demi konservasi lingkungan. Cerita-cerita dari daerah inilah yang hendak dibagikan secara populer agar ada lebih banyak lagi orang yang tahu dan peduli, dan bahkan ikut melakukan perubahan-perubahan tersebut.

"Yang kami lakukan adalah membangun sebuah narasi yang benar-benar berkisah tentang ragamnya suara sehingga memungkinkan lebih banyak orang untuk berkembang dan berhasil," kata Didi.

Baca Juga: Mengamati Maleo dan Menelusuri Peninggalan Megalitikum di Lore Lindu

Lebih lanjut, ujar Didi, National Geographic Indonesia juga ingin menghadirkan sudut pandang yang baru lewat penjelajahan dan narasi cerita. "Apa yang dilakukan konservasi saat ini itu sangat terkait dengan adat dan tradisi. Sudut pandang melihat melestarikan adat demi kepentingan konservasi itulah sudut pandang baru yang ingin kami ajukan kepada kawan-kawan semua," tutur Didi.

"Jadi, kami berusaha berbicara dengan sebanyak mungkin orang, tidak peduli dari suku apa, agama apa, jenis kelamin apa, untuk membentuk sudut pandang baru ini. Sudut pandang yang lebih peduli pada bumi."

Dalam edisi Desember 2021, Majalah National Geographic Indonesia berusaha untuk menceritakan dan memperlihatkan lewat tulisan dan peta mengenai betapa pentingnya Cagar Biosfer Lore Lindu. Didi berharap narasi ini dapat memunculkan dialog-dialog baru untuk kepentingan konservasi kawasan tersebut.

Donny Fernando, Fotografer National Geographic Indonesia yang ikut dalam ekspedisi ke Lore Lidu, juga menceritakan betapa berharganya cagar biosfer di jantung Wallacea tersebut. "Kawasan Lore Lindu ini tidak hanya dihuni oleh flora dan fauna, tapi juga banyak masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dan masyarakat di dalamnya ini memiliki peranan penting terkait kondisi alam ini pada sepuluh, lima puluh, atau seratus tahun ke depannya," ujar Donny.

Mayoritas masyarakat yang tinggal di kawasan Lore Lindu ini bekerja sebagai petani kopi dan cokelat. "Yang menarik masyarakat di sini tidak memapai pupuk kimia dan pestisida yang dapat merusak flora dan fauda di sana," tutur Donny.

Salah satu yang khas dari kopi-kopi di sana adalah memiliki cita rasa cokelat karena ditanam bersebelahan dengan pohon-pohon cokelat. Selain itu, para petani di sana juga masih menggunakan alat-alat tradisional demi menjaga kualitas dari kopi dan cokelat tersebut.

Ada juga penduduk yang membuat busana atau pakaian dari kulit kayu. Mereka tidak menebang pohon, tapi hanya mengambil lapisan-lapisan terluar kulit kayu dari pohon.

Baca Juga: Pusparagam Mahakam Tengah, Denyut Pelestarian Lanskap Gambut

Populasi maleo yang menjadi penunggu di Lore Lindu. (Shutterstock)

Di Lore Lindu Donny juga sempat menjumpai banyak jenis anggrek dan maleo. "Maleo ini adalah satwa yang sangat unik. Mereka bertelur, tapi tidak mereka erami. Mereka bertelur dan mereka akan meninggalkan telur itu," tutur Donny.

Maleo adalah burung pintar yang sangat mengandalkan kondisi alam di wilayah Lore Lindu. Hewan-hewan ini meletakkan telur-telur mereka di titik-titik tertentu yang menyimpan panas bumi sehingga telur-telur tersebut dapat menetas dengan sendirinya tanpa perlu dierami. Sayangnya, burung ini kini bertastus sebagai hewan yang terancam.

Selain kaya akan flora dan fauna, Lore Lindu juga punya banyak situs megalitik yang misterius. Donny punya pengalaman menarik saat memotret situs megalitik Pokekea di kawasan tersebut.

Kawasan Lore Lindu berada di dataran tinggi sehingga kerap terselimuti kabut. Saat Donny tiba situs Pokekea, kondisi di sana masih tertutupi oleh kabut sehingga agak gelap.

Namun ketika Donnny hendak memulai memotretnya, kabut di sana tiba-tiba hilang. Dan ketika Donny telah selesai memotret, kabut kembali menutupi situs tersebut.

Baca Juga: Artefak Megalitik Ditemukan di Maluku Utara, Terkait Pemujaan Leluhur

Situs megalitik di kawasan Lore Lindu. (Dok. Shutterstock)

Dari hasil ekspedisi ke Lore Lindu, tim National Geographic Indonesia kemudian menjadikan kearifan lokal masyarakat adat Ngata Toro sebagai sorotan utama. Didi mengatakan apa yang telah dilakukan oleh masyarakat Ngata Toto dalam menjaga kelestarian Lore Lindu dapat menjadi teladan bagi kita bersama. Masyarakat adat Ngata Toro mampu beradaptasi dengan perubahan zaman tanpa meninggalkan adat istiadat dan ritual yang diturunkan oleh leluhur mereka terkait konservasi lingkungan.

Masyarakat ada Ngata Toro memiliki sekolah adat dan sekolah alam untuk menurunkan tradisi konservasi lingkungan ke generasi selanjutnya. Mereka punya tradisi tuturan lisan yang disampikan turun-temurun untuk mengajarkan anak-anak mereka mengenai konservasi lingkungan.

"Paham-paham hidup seimbang dengan alam itu dipahami oleh mereka sejak kanak-kanak," papar Didi. "Nilai-nilai konservasi itu telah terkandung dalam bahasa keseharian yang dipakai dalam kehidupan sehari-hari."

"Saya pikir itu kisah yang perlu diceritakan kembali untuk menjadi inspirasi di kawasan-kawasan lain," simpul Didi.

Baca Juga: Penambangan Emas Ilegal Rusak Taman Nasional Lore Lindu