Kekeringan dan Krisis Air Memperburuk Iran

By , Rabu, 6 Juli 2016 | 13:00 WIB

Para pemimpin dunia berkumpul di Paris untuk menegosiasikan kesepakatan universal mengenai perubahan iklim, termasuk pemimpin Iran yang sedang berjuang dengan parahnya isu-isu lingkungan yang diciptakan karena keputusan manajemen sumber daya manusia.

Organisasi Perlindungan Lingkungan i Iran mengatakan terdapat 7 juta hektar lahan berada dalam bahaya penggurunan.

Danau yang Sekarat

Danau Bakhtegan di bagian selatan provinsi Fars merupakan titik berhenti burung Flamingo bermigrasi telah mengering, kadar salinitas menjadi bahaya untuk burung-burung. Termakan oleh Sungai Kor, danau telah mengering sepenuhnya dalam beberapa dekade terakhir.

Pembangunan di sepanjang Sungai Kor, baik urbanisasi dan pembangunan bendungan, telah disalahkan sebagai penyebab signifikan atas penurunan air danau.

Awal tahun ini, Bakhtegan mengering dan menyebabkan badai garam di daerah terdekat. Badai pasir dan banjir juga terjadi di dekat danau.

Danau Urmia, salah satu danau air asin terbesar keenam di dunia seluas 5.200 kilometer persegi, memiliki dua kali ukuran negara Luxembourg. Sekarang berkurang sekitar 10 persen dari ukuran aslinya, menjadikan dasar danau sebagai penyebab badai garam berbahaya yang mengancam pertanian dan populasi di sepanjang danau.

!break!

Hentikan Kerusakan Lebih Lanjut

"Pembicaraan iklim Paris menjadi peluang yang sangat besar bagi para pemimpin dunia untuk menciptakan pemahaman dalam rangka menghentikan kerusakan lebih lanjut oleh negara dan penduduk," kata Masoumeh Ebtekar, wakil presiden dan kepala Kementerian Lingkungan Hidup Iran, di sela-sela pertemuan di Paris.

"Sumber daya air telah menurun secara signifikan di Iran, tidak hanya karena pertumbuhan penduduk yang cepat dan peningkatan penggunaan air, tetapi juga sebagai akibat dari kekeringan dan perubahan iklim," kata Kaveh Madani, dosen senior dalam pengelolaan lingkungan di Pusat Kebijakan Lingkungan Hidup, Imperial College, London.

"Singkatnya, kami mengalami kebangkrutan air" Madani memperingatkan dalam sebuah wawancara dengan VOA.

Ia melanjutkan, "Masalah air yang dialami oleh Iran sekarang belum pernah terjadi sebelumnya. Masalah-masalah ini adalah hasil dari perencanaan kurang matang selama beberapa dekade dan solusi mereka tidak mudah untuk dikembangkan."

"Reformasi substansial dalam pertanian, fokus pada reformasi kebijakan dan perubahan dalam struktur pemerintahan terkait ‘air’ dapat jauh lebih aktif, daripada membangun bendungan beton yang dapat merusak lingkungan secara permanen," tambahnya.

Solusi keras yang dimaksud adalah pembangunan bendungan, merupakan pilihan populer selama pemerintahan sebelumnya, seperti kata Presiden Mahmoud Ahmadinejad, ketika Iran dianggap sebagai negara terkemuka di bidang konstruksi bendungan.

Bendungan menyimpan air waduk, yang disediakan untuk pertanian, pembangkit listrik dan populasi perkotaan.

The Financial Times melaporkan bahwa Iran telah membangun 600 bendungan selama tiga dekade terakhir. Namun, tidak ada satu bendungan pun telah dibuka di bawah Presiden Hassan Rouhani, yang menjadi pemimpin Iran pada 2013. Rouhani lebih menekankan pada penyelamatan lingkungan dan pengelolaan sumber daya air selama kampanye.

!break!

Korban perubahan iklim

Ebtekar, kepala Departemen Lingkungan Hidup Iran, percaya kemiskinan dan negara berkembang adalah korban dari perubahan iklim akibat emisi gas rumah kaca oleh negara-negara industri yang kaya.

Madani memiliki pandangan yang berbeda,"Perubahan iklim bukan penyebab utama, tetapi  katalisator lah yang memperburuk situasi," katanya.

"Tren yang diamati pada perubahan suhu dan curah hujan selama dekade terakhir begitu menakutkan. Kami mendapatkan curah hujan yang kurang di banyak bagian negara, sementara suhu telah meningkat di seluruh wilayah. Sistem kami yang sekarang tidak tahan dan tidak bisa mengatasi perubahan iklim, jika itu membuat Iran lebih kering dan lebih panas, "kata Madani.

Isa Kalantari, mantan menteri pertanian Iran dan kepala program restorasi Danau Urmia, memperingatkan bahwa baik karena tingkat konsumsi air yang tinggi dan perubahan iklim, sungai di negara itu akan mengering.

"Jika tren tidak berhenti, 50 juta penduduk perlu bergerak untuk bertahan hidup," ungkap Kalantari memperingatkan.