Dihantui Perang, Anak-Anak Suriah Butuh Dukungan Psikologis

By , Kamis, 17 Desember 2015 | 13:00 WIB

Perang selalu menghadirkan ancaman dan bayang-bayang mengerikan. Korbannya bisa siapa saja. Termasuk anak-anak yang terpaksa harus hidup dalam ketakutan, menelan kegetiran karena harus menyaksikan hal-hal keji di usia mereka yang begitu muda. Anak-anak itu didera trauma berkepanjangan, ditambah lagi minimnya dukungan psikologis yang diberikan pada mereka.

 Organisasi Project Liftingin mengubah hal itu. Para terapis dan sukarelawan bekerja menolong anak-anak terdampak perang yang menganggap segala sesuatu merupakan ancaman.

Amal, bocah perempuan berusia 9 tahun, tak lagi bersekolah. Namun minggu ini, ia akan mengingat lagi bagaimana rasanya berada di ruang kelas.

Ketika perang mengoyak negaranya, dunia Amal seakan runtuh. Seperti lebih dari 2 juta warga Suriah lainnya, ia dan keluarganya melarikan diri ke Turki dengan harapan menemukan perlindungan dari pertumpahan darah yang sekarang telah memasuki tahun kelima.

Tidak ada serangan udara di sini, di Istanbul, di mana Amal sekarang tinggal. Tidak ada pos pemeriksaan atau suara tembakan beruntun. Dibandingkan dengan kotanya dulu, Aleppo—yang sebagian besar hancur oleh peluru dan bom barel, Istanbul  memang tempat terlindung.

Namun bagi banyak anak-anak pengungsi Suriah seperti Amal, perang masih di mana-mana. Sementara itu, akses terhadap dukungan psikologis masih langka, begitu pula akses  untuk pendidikan.

Seorang ibu dan anaknya dari Turki, bersama dengan sebuah tim terapi terlatih dan hampir 200 relawan yang tergabung dalam Project Lift, mencoba untuk mengubah hal tersebut.

“Anak-anak ini berada dalam mode bertahan hidup," kata Leyla Akca, terapis klinis dan penasihat utama dari organisasi yang berbasis di Istanbul. “Mereka menganggap segala sesuatu sebagai ancaman. Kemampuan mereka untuk percaya, mengkhayal dan menjadi kreatif telah ditutup."!break!

Project Lift memberikan dukunan psikososial kepada anak-anak pengungsi Suriah yang trauma. Beberapa di antara mereka menderita gejala gangguan stress pasca trauma. Anggota Project Life juga berupaya untuk menyatukan anak-anak Suriah dengan masyarakat setempat.

Didirikan pada 2014 oleh remaja berusia 16 tahun, Emir Özsüer, dengan bantuan ibunya, Esra, organisasi ini telah berkembang pesat. Kumpulan relawan Turki, Suriah maupun internasional—yang semuanya harus melalui 16 jam pelatihan trauma sebelum diizinkan bekerja dengan anak-anak—kini tumbuh semakin besar.

Akan tetapi, organisasi ini juga menghadapi hambatan serius: pendanaan, birokrasi negara dan kurangnya sumber daya yang diperlukan untuk mengatasi kebutuhan sejumlah anak-anak yang mengalami trauma.

Mereka memerlukan lebih banyak penutur berbahasa Arab, untuk menjawab sejumlah pesan ataupun telepon dari orangtua-orang tua yang panik dan putus asa untuk bantuan dan bersemangat membahas kesehatan mental anak-anak mereka. Setelah workshop, staf mencoba untuk menindaklanjuti anak-anak yang paling trauma di rumah mereka.

Banyak orangtua sendiri yang mengaku sangat tidak mungkin untuk mengarahkan sistem pendidikan tanpa kemampuan bahasa setempat. Memang ada sekolah khusus berbahasa Arab, tapi tanpa sarana hukum untuk bekerja di Turki, banyak pengungsi yang tidak mampu menyekolahkan anak-anak mereka di sekolah itu.

“Mereka tidak berkembang,” Akca memperingatkan.  “Mereka terjebak di usia di mana mereka mengalami trauma.”

Beberapa siswa Project Lift memiliki trauma parah, melihat orang-orang yang mereka cintai terbunuh di depan mata mereka, atau orang tua mereka ditangkap, dan tak pernah terlihat lagi.

Di satu ruangan, anak-anak berpartisipasi dalam latihan gerak, hanya menggerakkan bagian tubuh yang diperintahkan oleh pemimpin kelompok untuk digerakkan. Di ruangan lain, seorang terapis menunjukkan pada seorang anak laki-laki dan perempuan bagaimana membuat alat music mereka sendiri menggunakan botol air minum bekas dan kacang hijau.

“Kami berlatih kontrol impuls,” jelas psikolog klinis, Merve Minkari (26). "Intervensi kami adalah pelindung.” Ketika Anda mengubah satu hal ketika mereka kecil, itu dibawa seumur hidup."

Di kelas lain, Akca memimpin kelompok melalui latihan terapi seni di mana anak-anak diminta untuk menggambar ikan di laut.

“Semua ikan-ikan ini berbeda,” Ia menerangkan di depan kelas. “Beberapa dari mereka kecil, dan lainnya besar. Semua ikan-ikan yang berbeda ini bisa hidup bersama di Laut,”

“Ya!” seru Youssef, bocah berusia 9 tahun dari Aleppo. “Terima kasih!”

Ketika ditanya kegiatan apa yang paling ia sukai, Youssef meledak penuh kegembiraan. “Bermain drum!” katanya. “Kami membuat musik pada kaki kami!”

Keriangan semacam inilah yang membuat Mohammed, relawan berusia 22 tahun terus berharap. Pengungsi Suriah ini, Mohammed, yang meminta nama belakangnya tak disebut, tiba di Turki dari Aleppo sekitar 4 bulan lalu.

Sama seperti anak-anak yang saat ini ditolongnya, ia mengatakan tak ada lagi yang tersisa untuknya di Suriah. Ia mencondongkan tubuhnya pada si kecil Amal, dengan lembut bertanya apakah dirinya boleh melihat apa yang digambar Amal.  Lalu, ia berkata, “Kami dapat membantu menyalakan kembali semangat mereka.”