Siang itu, ibu-ibu anggota kelompok Jaka Kencana memasak lalapan mangrove. Bahannya: daun alur dan daun api-api, ditambah kecambah dan parutan kelapa. Untuk menyentak lidah, diberi sambal kacang pedas.
Dari hutan mangrove di sekitar Pabean Udik, Kecamatan Indramayu, kaum ibu memetik daun-daun muda api-api atau Avicennia sp.
Kastiri dan Dari, dua perempuan anggota Jaka Kencana sibuk memilah pucuk-pucuk daun muda api-api. Sementara itu, Rantes bersama Ropiah memetiki daun alur.
Tumbuhan perdu itu baru saja dipetik di pematang tambak di sekitar rumah. “Biasa tumbuh ditanggul-tanggul tambak sekitar desa,” jelas Kastiri. Bagi warga Pabean Udik, daun alur sudah biasa dijadikan sebagai lalapan.
“Sudah dari dulu. Kadang daun alur juga dijual di pasar. Satu kilogram Rp 5.000. Agak mahal karena susah mencarinya,” imbuh Kastiri. “Dari zaman nenek saya, alur sudah dikonsumsi. Enak sih.”
Lalapan mangrove ini pas untuk menyambut tengah hari yang gerah. Buat sensasi kriuk, lalapan didampingi rempeyek wrakas. Ini juga dari tanaman yang tumbuh di hutan mangrove. Wrakas sebenarnya sejenis paku-pakuan yang hidup menempel di pohon mangrove. Daun mudanya berwarna hijau kemerahan. Lentur dan mengilap. “Bahasa Depok-nya Acrostichum aureum,” canda Ketua Jaka Kencana Abdul Latif, tentang nama ilmiah wrakas.
Wrakas juga biasa dikonsumsi sebagai lalapan. Kini ibu-ibu Jaka Kencana menjadikan daun wrakas sebagai rempeyek. “Idenya dari rempeyek bayam,” jelas Latif, “bedanya, rempeyek bayam kadang masih terasa pahit. Kalau wrakas tidak ada pahitnya.”
Bagaimana membuat lalapan mangrove? “Daun api-api dan alur dipetik satu-satu, lalu direbus,” ungkap Kastiri. Untuk rempeyek, daun muda wrakas direbus, lantas dicelupkan dalam adonan tepung terigu, yang dicampur telur, ketumbar, garam dan bumbu penyedap. “Lantas digoreng,” ujar Kastiri.!break!
Sayur mayur mangrove ini terasa segar. Tak ada yang aneh di lidah. Setelah dicampur dengan sambal kacang, lalap pesisiran ini sebenarnya persis seperti pecel Madiun. Sambal yang pedas menggugah rasa kantuk. Renyahnya rempeyek wrakas menyela segarnya sayur mangrove. Tubuh yang lesu lantaran dibekap hawa panas kembali tegak.
“Lalapan mangrove sudah dinikmati oleh Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Kalau Bupati Indramayu sudah sering,” terang Latif.
Sejak tiga tahun lalu, Latif bersama kelompoknya membuat lalapan mangrove. “Tapi sebenarnya, orang-orang zaman dulu sudah biasa memakai daun api-api sebagai lalapan,” jelasnya.
Saat zaman Jepang, buah api-api juga dikonsumsi untuk krawu. “Buahnya direbus, lalu diberi parutan kelapa. Itu karena saat zaman sengsara tidak ada makanan. Setelah zaman berkembang, konsumsi buah dan daun mangrove ditinggalkan,” papar Latif.
Kini, seiring berkembangnya kesadaran tentang jasa lingkungan mangrove, Latif menumbuhkan kembali mangrove sebagai bahan pangan alternatif. “Kami menggali informasi dari orang-orang tua. Akhirnya ketemu. Buah api-api misalnya, ternyata bisa dimakan. Saya juga baru tahu.”