Lalapan Mangrove Indramayu

By , Selasa, 22 Desember 2015 | 08:00 WIB

Siang itu, ibu-ibu anggota kelompok Jaka Kencana memasak lalapan mangrove. Bahannya: daun alur dan daun api-api, ditambah kecambah dan parutan kelapa. Untuk menyentak lidah, diberi sambal kacang pedas.

Dari hutan mangrove di sekitar Pabean Udik, Kecamatan Indramayu, kaum ibu memetik daun-daun muda api-api atau Avicennia sp.

Kastiri dan Dari, dua perempuan anggota Jaka Kencana sibuk memilah pucuk-pucuk daun muda api-api. Sementara itu, Rantes bersama Ropiah memetiki daun alur.

Tumbuhan perdu itu baru saja dipetik di pematang tambak di sekitar rumah. “Biasa tumbuh ditanggul-tanggul tambak sekitar desa,” jelas Kastiri. Bagi warga Pabean Udik, daun alur sudah biasa dijadikan sebagai lalapan.

“Sudah dari dulu. Kadang daun alur juga dijual di pasar. Satu kilogram Rp 5.000. Agak mahal karena susah mencarinya,” imbuh Kastiri. “Dari zaman nenek saya, alur sudah dikonsumsi. Enak sih.”

Lalapan mangrove ini pas untuk menyambut tengah hari yang gerah. Buat sensasi kriuk, lalapan didampingi rempeyek wrakas. Ini juga dari tanaman yang tumbuh di hutan mangrove. Wrakas sebenarnya sejenis paku-pakuan yang hidup menempel di pohon mangrove. Daun mudanya berwarna hijau kemerahan. Lentur dan mengilap. “Bahasa Depok-nya Acrostichum aureum,” canda Ketua Jaka Kencana Abdul Latif, tentang nama ilmiah wrakas.

Wrakas juga biasa dikonsumsi sebagai lalapan. Kini ibu-ibu Jaka Kencana menjadikan daun wrakas sebagai rempeyek. “Idenya dari rempeyek bayam,” jelas Latif, “bedanya, rempeyek bayam kadang masih terasa pahit. Kalau wrakas tidak ada pahitnya.”

Bagaimana membuat lalapan mangrove? “Daun api-api dan alur dipetik satu-satu, lalu direbus,” ungkap Kastiri. Untuk rempeyek, daun muda wrakas direbus, lantas dicelupkan dalam adonan tepung terigu, yang dicampur telur, ketumbar, garam dan bumbu penyedap. “Lantas digoreng,” ujar Kastiri.!break!

Sayur mayur mangrove ini terasa segar. Tak ada yang aneh di lidah. Setelah dicampur dengan sambal kacang, lalap pesisiran ini sebenarnya persis seperti pecel Madiun. Sambal yang pedas menggugah rasa kantuk. Renyahnya rempeyek wrakas menyela segarnya sayur mangrove. Tubuh yang lesu lantaran dibekap hawa panas kembali tegak.

“Lalapan mangrove sudah dinikmati oleh Menteri Lingkungan Hidup Balthasar Kambuaya, Wakil Gubernur Jawa Barat Deddy Mizwar, Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Siti Nurbaya. Kalau Bupati Indramayu sudah sering,” terang Latif.

Sejak tiga tahun lalu, Latif bersama kelompoknya membuat lalapan mangrove. “Tapi sebenarnya, orang-orang zaman dulu sudah biasa memakai daun api-api sebagai lalapan,” jelasnya.

Saat zaman Jepang, buah api-api juga dikonsumsi untuk krawu. “Buahnya direbus, lalu diberi parutan kelapa. Itu karena saat zaman sengsara tidak ada makanan. Setelah zaman berkembang, konsumsi buah dan daun mangrove ditinggalkan,” papar Latif.

Kini, seiring berkembangnya kesadaran tentang jasa lingkungan mangrove, Latif menumbuhkan kembali mangrove sebagai bahan pangan alternatif. “Kami menggali informasi dari orang-orang tua. Akhirnya ketemu. Buah api-api misalnya, ternyata bisa dimakan. Saya juga baru tahu.”

Kelompok yang berkiprah sejak 2003 ini baru menyadari manfaat kuliner mangrove pada 2008. “Setelah kita menanam mangrove, lalu untuk apa. Waktu itu hanya menanam saja, ramai-ramai. Baru pada 2008 kita berpikiran untuk memanfaatkan buah dan daun mangrove. Kita perlu sesuatu yang berbeda, yang tidak hanya menanam,” urai Latif.

Lantaran sering berkumpul, anggota berdiskusi dan menggali kembali sumber pangan dari vegetasi pasang surut ini. “Khusus sumber pangan untuk sayuran, daun api-api, alur dan wrakas, kita bertanya kepada orang-orang tua. Kalau yang lainnya, kita lakukan dengan coba-coba. Bareng-bareng. Keracunan juga bareng-bareng.”

Getah pohon api-api misalnya. Latif menjelaskan, getah api-api bagus untuk peranakan dan meredakan sakit gigi. Untuk merasakan faedahnya, Latif dan sejumlah anggota memberanikan diri sebagai kelinci percobaan.

“Getah itu kadang-kadang keluar sendiri di batang pohon api-api. Pas musim kemarau getah menetes sendiri, dan bisa langsung diminum, seukuran biji randu kapuk,” timpal Kastiri.

Meski telah lama digunakan sebagai obat, untuk mengetahui takarannya yang tepat mesti coba-coba. Kastiri punya pengalaman mengonsumsi getah api-api secara berlebihan. “Napas terasa sesak, perut panas, badan meriang. Getah yang saya minum terlalu besar,” kata Kastiri. Setelah mencoba, dia merasakan manfaat getah api-api. “Baik untuk menjarangkan kehamilan dan mengeringkan peranakan setelah melahirkan.”

Begitu juga buah pidada (Sonneratia sp) yang ternyata bisa dikonsumsi langsung. “Warung-warung zaman susah dulu biasa menjual buah pidada. Kata orang tua, satu butir dijual Rp 5. Baru pada 2008 kita memakai buah pidada sebagai bahan sirup,” kenang Latif.