Popularitas, Ancaman Nyata Gunung Padang

By , Sabtu, 16 Januari 2016 | 12:00 WIB

Tahun lalu popularitas Situs Gunung Padang di Cianjur, Jawa Barat, tiba-tiba melonjak. Kabar penemuan koin, semen purba, batu bulat rolling stone, dan ”kujang” Gunung Padang berhasil mengangkat situs itu ke panggung diskursus nasional. Karena itulah, pertengahan tahun lalu kunjungan wisatawan ke Gunung Padang tiba-tiba membeludak. Tak tanggung-tanggung, dalam seminggu, sekitar 58.000 orang mengunjungi situs itu.

Mereka berwisata sembari membawa bekal makanan untuk disantap di atas bukit yang dipenuhi batuan-batuan berserakan itu. Di satu sisi, pariwisata tumbuh, tetapi di sisi lain kelestarian cagar budaya itu makin terancam oleh ribuan kaki manusia yang setiap hari menapaki bukit gundul Gunung Padang.

Lonjakan kunjungan terjadi ketika Gunung Padang tengah diekskavasi. Selama 23 hari, Tim Terpadu Riset Mandiri (TTRM) Gunung Padang berusaha memverifikasi keberadaan struktur punden berundak di situs itu. Mereka menggali dan mengebor di teras dua dan lima serta penggalian di bagian lereng bukit sebelah barat dan timur.

Menurut Ketua Arkeologi TTRM Gunung Padang Ali Akbar, konstruksi Gunung Padang mirip seperti Machu Picchu di Peru. Di setiap meter, ada jeda lapisan tanah dan setelah digali ada struktur batu lagi di bawahnya.

”Kami menggunakan data pengeboran, georadar, dan geolistrik dalam penelitian. Hal seperti ini tidak pernah dilakukan para arkeolog di Indonesia yang setia dengan teknik-teknik penggalian konvensional,” kata Ali Akbar akhir tahun lalu.

Dalam penelitian, TTRM melibatkan ahli dari berbagai disiplin ilmu untuk menggabungkan data pengeboran, geo-radar, dan geo-listrik dalam penelitian. Setelah menggali dan mengebor, mereka menemukan beberapa artefak, seperti koin logam, semen purba, batu bulat (rolling stone), dan batuan berbentuk seperti sekop yang kemudian disebut ”kujang” Gunung Padang.

”Pemerhati memberi informasi, koin itu buatan 1855, tapi kok bisa berada di kedalaman 11 meter yang penanggalan karbonnya berusia 5.200 SM,” ujarnya.

Menanggapi temuan itu, geolog Sujatmiko mengatakan, semua batuan di Gunung Padang ialah batuan alamiah. ”Batuan rolling stone yang di dalamnya terdapat batu ada di mana-mana. Itu sangat umum. Jadi, janganlah temuan seperti ini langsung diumumkan kepada publik. Apa yang disebut semen purba itu hanyalah bijih besi dengan kandungan besi 40 persen. Kadar besi semen sendiri maksimal 6 persen,” kata Miko.

Arkeolog prasejarah Pusat Arkeologi Nasional, Bagyo Prasetyo, memperkirakan, koin yang ditemukan di Gunung Padang bukanlah benda tua karena teknologi logam baru muncul sesudah Masehi. ”Tidak bisa disimpulkan begitu saja bahwa koin logam Gunung Padang berasal dari masa 5.200 SM. Arkeologi tidak bisa hidup tanpa konteks,” katanya.

!break!

Penulis spesialis situs megalitik asal Inggris, Graham Hancock, dan ahli ilmu alam asal Amerika Serikat, Robert Scoch (tengah), berbincang dengan anggota Tim Terpadu Riset Mandiri Gunung Padang di situs megalitik Gunung Padang, Cianjur, Jawa Barat, beberapa waktu lalu. Kunjungan keduanya berlangsung saat acara Festival Gotrasawala. (HARIS FIRDAUS/KOMPAS)

Pelestarian

Di tengah kontroversi tentang Gunung Padang, Ketua Ikatan Asosiasi Arkeolog Indonesia (IAAI) Junus Satrio Atmodjo memandang, berbagai macam paradigma perlu ditempatkan dalam konsep pelestarian lebih luas.

”Pertama, kita mesti menjaga agar Gunung Padang bisa dinikmati ribuan tahun lagi. Selain itu, masyarakat setempat jangan sampai tercerabut dari akar budayanya,” katanya.