"Fase letusan Gunung Semeru ini dimulai pada tahun 2014, dengan seringnya emisi gumpalan abu hingga ratusan meter di atas kawah, aliran piroklastik, dan longsoran lava yang berpijar," tulis Handley. "Tapi letusan hari Sabtu, secara tak terduga, jauh lebih besar daripada latar belakang aktivitas yang sedang berlangsung."
Kepala Badan Geologi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Eko Budi Lelono, mengatakan badai petir dan hujan terus-menerus telah mengikis sebagian kubah lava Gunung Semeru. Dalam hal ini mengikis "sumbat" lava yang memadat di puncak. Hal ini menyebabkan kubah runtuh sehingga memicu letusan.
Runtuhnya kubah lava adalah pemicu umum letusan gunung berapi. Runtuhnya kubah lava telah menjadi penyebab beberapa letusan paling mematikan dalam sejarah.
Baca Juga: Kisah Pilu Pria yang Gagal Melarikan Diri dari Letusan Vesuvius
"Runtuhnya kubah lava padat yang tidak stabil seperti mengambil bagian atas botol minuman bersoda, menekan sistem dan memicu letusan. Kubah lava terkadang runtuh karena beratnya sendiri saat tumbuh, atau bisa melemah karena kondisi cuaca eksternal, seperti yang terjadi di Gunung Semeru," papar Handley.
"Fakta bahwa letusan hari Sabtu dipicu oleh faktor eksternal, bukan kondisi di dalam gunung berapi, akan membuat peristiwa ini lebih sulit untuk diprediksi," jelasnya lagi.
Pemantauan gunung berapi biasanya bergantung pada tanda-tanda peningkatan gejolak atau gemuruh di dalam gunung berapi. Peningkatan aktivitas gempa bisa menjadi tanda bahwa magma bergerak di bawah tanah.
Tanda peringatan lainnya adalah perubahan suhu atau jenis gas yang dipancarkan. Terkadang, perubahan kecil dalam bentuk gunung berapi atau kubah lava dapat dideteksi di tanah atau dari satelit.
Namun jika penyebab letusan gunung berapi adalah faktor eksternal seperti badai petir dan hujan yang terus-menerus, tanda-tanda peringatan itu jadi sebagian tak ada atau sulit dideteksi sehingga letusannya sulit diprediksi.
Letusan eksplosif fatal lainnya yang sulit diprediksi terjadi pada 2019 di Whakaari (White Island) di Selandia Baru. Peristiwa itu diperkirakan didorong oleh ledakan uap bertekanan dan bukan oleh magma, yang membuatnya sulit untuk diprediksi.
Baca Juga: Studi Terbaru: Gunung Toba Masih Aktif, Letusan Supernya Mengintai