Gerhana matahari total yang bisa disaksikan dari 12 provinsi di Indonesia pada 9 Maret 2016 mendatang bisa menjadi peluang untuk memecahkan salah satu teka-teki terbesar dalam ilmu pengetahuan. Teka-teki yang belum terpecahkan selama 60 tahun itu terkait anomali gerak pendulum saat gerhana matahari total.
Kemunculan teka-teki bermula dari observasi ilmuwan Perancis Maurice Allais saat gerhana matahari 30 Juni 1954. Peraih Nobel Ekonomi pada tahun 1988 yang juga menggemari astronomi itu melihat, arah ayunan pendulum mengalami perubahan besar saat gerhana.
Dalam kondisi normal, arah ayunan pendulum berubah searah jarum jam dengan kecepatan 0,19 derajat per menit. Perubahan itu sebenarnya wajar karena terkait dengan rotasi bumi. Namun, dalam pengamatan tahun 1954, Allais menjumpai bahwa arah ayunan pendulum berubah 13,5 derajat dan berlawanan arah dengan jarum jam.
Allais melakukan pengamatan ulang pada gerhana matahari 2 Oktober 1959 dari Saint-Germain-en-Laye di Perancis. Dia menjumpai fenomena yang sama namun belum bisa menjelaskan penyebabnya. Anomali yang belum bisa terungkap penyebabnya itulah yang kemudian disebut Allais Effect.
Pencarian Jawaban
Diuraikan di situs Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA), sejumlah ilmuwan yang mendalami fisika dan astronomi tergerak menguraikan Allais Effect. Mereka melakukan eksperimen ulang untuk mengonfirmasi. Pertanyaan dasarnya: Apakah anomali yang dijumpai Allais memang terkait gerhana?
Ilmuwan GT Jeverdan mengamati gerak pendulum saat gerhana matahari pada 15 Februari 1961 dari Romania. Dia menjumpai, gerakan pendulum melambat 1 per 2000 saat gerhana. Namun, hasil observasi Jeverdan tak dipublikasikan di jurnal berbahasa Inggris.
EJ Saxl dan M Allen berusaha mengonfirmasi Allais Effect dengan melakukan pengamatan pada gerak pendulum torsi. Bila pendulum Foucault yang digunakan Allais bergerak ke samping, pendulum torsi bergerak naik turun. Pendulum itu terdiri dari sebuah beban yang digantungkan dengan pegas.
Saxl dan Allen yang melakukan pengamatan di Harvard University pada tahun 1970 menjumpai bahwa waktu yang dibutuhkan pendulum torsi untuk melakukan satu ayunan bertambah saat gerhana. Namun, eksperimen ilmuwan Finlandia bernama T. Kuusela pada gerhana matahari 22 Juli 1990 berlawanan dengan hasil pengamatan Saxl dan Allen.
Tahun 2009, delapan gravimeter dan dua pendulum digunakan pada pengamatan gerhana matahari 26 Januari 2009 di China. Salah satu ilmuwan mengonfirmasi anomali seperti dijumpai Allais. Namun, hasil pengamatan tak dipublikasikan di jurnal ilmiah manapun.
Para ilmuwan berupaya menerangkan anomali yang dijumpai Allais. Pandangan umum, gerhana matahari akan memengaruhi gravitasi dan rotasi bumi. Allais Effect merupakan bukti adanya pengaruh tersebut. Namun demikian, ada pula penjelasan lainnya.
Riset T Van Flandern dari Meta Research dan XS Yang dari University of Wales Swansena di Inggris yang dipublikasikan di Physical Review tahun 2003 mengungkap bahwa anomali yang dijumpai Allais bisa jadi karena gerhana menyebabkan pendinginan di atmosfer bagian atas sehingga memengaruhi densitas dan gerakan massa udara.
Upaya Bosscha
Kepala Observatorium Bosscha, Mahasena Putra, mengatakan bahwa observasi Allais Effect hingga kini masih terus berlanjut. "Kita masih belum bisa menjelaskan secara pasti penyebabnya," katanya. "Momen gerhana di Indonesia bisa menjadi peluang kita untuk menjawab."
Mahasena mengatakan, saat ini Observatorium Bosscha tengah mengembangkan pendulum dengan sensor. Perangkat itu akan digunakan untuk mengonfirmasi Allais Effect. "Kalau kita menjumpai, ini akan menjadi laporan penelitian yang menarik," jelas Mahasena saat ditemui Kompas.com, Jumat lalu.
Tim Observatorium Bosscha akan melakukan pengamatan di lapangan Kalora, Poso, Sulawesi Tengah. Bersama Universe Awareness (Unawe), tim Bosscha juga akan melakukan sosialisasi astronomi dan pengamatan gerhana kepada warga. Poso sendiri merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang akan mengalami gerhana matahari total tahun ini.