Kejadian snowball earth atau saat seluruh permukaan Bumi diselimuti salju pernah terjadi sekitar 750 juta tahun silam. Fenomena tersebut kemungkinan besar dipicu oleh aktivitas vulkanik yang ekstensif di bawah permukaan laut.
Demikian terungkap dalam laporan hasil penelitian yang dimuat dalam Jurnal Nature Geoscience pekan ini. Hal ini juga membantu menjelaskan awal mula kehidupan hewan di Bumi jutaan tahun setelah periode snowball earth.
"Snowball earth adalah kejadian ekstrim dan planet kita ini hampir saja tidak selamat dari peristiwa itu," jelas Professor Eelco Rohling dari Australian National University, yang menuliskan laporan penelitian ini.
"Hipotesis kami menjelaskan sejumlah aspek snowball earthmelalui mekanisme tunggal," katanya.
Selama ini hipotesis tentang snowball earth menyatakan, hampir seluruh permukaan Bumi diselimuti lapisan salju paling tidak sekali dalam sejarah planet ini, namun penyebabnya tidak diketahui pasti.
Baca pula : Snowmageddon Menyerang Pantai Timur AS
Salah satu teori yang banyak dirujuk selama ini menjelaskan bahwa lapisan salju disebabkan oleh mulai adanya aliran air dari sungai ke lautan yang disebabkan oleh pecahnya benua besar bernama Rodinia.
Aliran air tersebut mengubah susunan kimiawi lautan sehingga menyebabkan berkurangnya kadar karbon dioksida (CO2) di atmosfir. Karena tebalnya lapisan es, maka sinar matahari justru terpantul kembali sehingga menyebabkan Bumi justru semakin dingin.
"Dampaknya, Bumi memasuki situasi snowball di mana lautan mulai membeku," jelas Profesor Rohling mengutip teori tersebut.
Teori ini juga menjelaskan bahwa Bumi berada dalam situasi seperti ini selama jutaan tahun.
"Namun, menurut teori tersebut aktivitas vulkanik di daratan kemudian melepaskan banyak gas CO2 ke atmosfir dan mengakhiri periode snowball earth," kata Profesor Rohling.
Rohling dan timnya mengadakan berbagai simulasi yang menunjukkan bahwa pecahnya benua raksasa Rodinia justru telah melepaskan bahan-bahan kimiawi vulkanis yang mencemari lautan dan mengikis CO2 dari atmosfir.
Menurut teori yang dikembangkan Rohling ini, di awal pecahnya benua Rodinia, terjadi aktivitas vulkanik di bawah laut yang sangat ekstensif dan memproduksi bebatuan vulkanik yang disebut hyaloclastite dengan berbagai kandungan kimiawi.
"Selama ini pertanyaan mendasarnya adalah bagaimana bisa benua yang sangat besar mengirimkan begitu banyak mineral ke lautan jika daratan saat itu masih diselimuti es," katanya.
"Ternyata, bebatuan hyaloclastite itulah yang melakukannya - mengubah lautan menjadi sangat kaya dengan kandungan kimiawi berupa kalsium, magnesium, silikon, dan phoshorus," ujarnya.
"Di saat Bumi kembali menghangat, penetrasi sinar matahari di lautan memungkinkan zat-zat algal berfotosintesa yang sangat penting dalam perkembangan kehidupan hewan," kata Profesor Rohling.