"Tidak! Kami sudah hattrick mengalahkan Malaysia di Halal Tourism Award di Abu Dhabi 2015. Lombok mendapatkan penghargaan World Best Halal Destination Award 2015 dan World Best Halal Honeymoon Award 2015. Lalu, Hotel Sofyan Betawi memperoleh World Best Halal Hotel Award 2015. Malaysia yang selama ini menjadi legenda halal tourism tak mengantungi satu pun award di sana," kata Arief. (Baca juga: Destinasi Tunggal ASEAN, Indonesia Justru Dapat Banyak Keuntungan)
Lantas, kalau sudah dapat penghargaan kelas dunia itu, apakah destinasi dan pelaku industri itu mendapatkan dampak langsung?
"Dampak dari international award itu sangat besar."
Arief menjelaskan, Lombok setelah mendapatkan penghargaan itu sangat bergairah. Atmosfer bisnis dan suasana industri perhotelan, restoran, biro perjalanan, dan semua usaha yang berbasis pada pariwisata mulai hidup. "Momentum inilah yang bisa kita kebut untuk mendapatkan wisman lebih banyak. Tinggal perbaiki destinasi dan lebih agresif promosi ke top five originasi halal," kata lelaki yang memiliki ilmu stratejik manajemen itu.
!break!
Kegagalan Penghargaan: Rinjani
Penjelasan itu membuat saya setuju. Prestasi akan membawa berkah—sepanjang kita siap untuk mengelola, memanfaatkan, dan mempromosikannya.
Dengan kekayaan alam dan budaya, kita punya banyak prestasi dunia di sepanjang garis katulistiwa. Banyak di antara pengelola destinasi—termasuk tempat wisata itu sendiri—yang telah mendapatkan penghargaan bergengsi. Sayangnya, para penerima penghargaan itu kurang memanfaatkan secara maksimal penghargaan tadi sebagai penarik minat orang untuk berkunjung.
Saya ingin mengajak Anda kilas balik ke tahun 2004. Ketika itu, dunia pariwisata kita ingar-bingar oleh sebuah pengumuman (kalau saja Twitter sudah naik daun pada masa itu, tentu cerita emas itu kian membahana). "Selamat untuk Taman Nasional Gunung Rinjani atas penghargaan 'The 2004 World Legacy Award'—kategori destination stewardship yang diselenggarakan oleh Conservation International dan National Geographic Traveler". (Baca juga: Indonesia Raih Juara Dunia 12th UNWTO Award)
Berita baik itu segera menyebar di jejaring sosial, yang nge-tren saat itu adalah Facebook. Melalui program Gunung Rinjani Trekking Program, pengelola kawasan konservasi itu mendapat ganjaran harum. Mereka mampu membenahi pengelolaan kawasan, yang terkenal dengan pendakian gunung api tertinggi kedua di Indonesia, dan penataan destinasi yang berbasiskan lingkungan dan sosial.
Saat menerima penghargaan, Kementerian Kehutanan (ketika itu) mengirimkan Kepala Taman Nasional Tedi Sutedi bersama Kepala Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat, Tjokorda Suthendra Rai yang juga menjadi Ketua Badan Pembina Trekking Rinjani. Di gedung megah milik National Geographic Society di Washington, DC, induk dari Traveler, keduanya menerima penghargaan yang diserahkan oleh Ratu Noor dari Yordania selaku Ketua Komite Penghargaan.
Mendapati berita itu, saya jelas bangga. Saya pernah dua kali tersengal-sengal di dua jalur ngehe pendakian saat menuju titik tertinggi di wilayah nusa kecil. Ketika itu, saya tidak dapat menikmati pendakian. Bukan karena kontur jalur jalan kaki yang menyebalkan, tetapi pada unsur keamanan, kebersihan lingkungan, pos pendakian yang kotor, dan seterusnya. Karena masih duduk di bangku perguruan tinggi, semua kelemahan itu tidak menjadi masalah. Lha wong, tujuannya satu: puncak.
Rupanya, setelah tahun 2000 Rinjani berbenah. Hasilnya, penghargaan tadi. Tentu saja, sekalipun saya tak punya datanya, prestasi itu menggiring berkah. Kunjungan wisatawan untuk menikmati parwisata berkelanjutan itu semakin meningkat—penghargaan itu menitikberatkan pada penilaian pada tanggung jawab lingkungan dan menghargai warisan budaya. Penghargaan ini merupakan satu-satunya penghargaan pariwisata global yang didasarkan atas hasil kunjungan lapangan para ilmuwan, antropolog dan profesional pariwisata.