Mengapa Arief Yahya Begitu Ngotot Pada Setiap Penghargaan?

By , Rabu, 27 Januari 2016 | 17:30 WIB
Tak hanya di Semeru, sampah yang menggunung juga terdapat di Rinjani dan gunung-gunung lainnya. (BBC Indonesia/Trashbag Community)

Sayangnya, setelah penghargaan diterima, beberapa waktu kemudian, saya mendapatkan berita sedih. Pengelolaan Rinjani kembali berantakan. Kalau mengingat ini, kalau saja penghargaan itu diterima pada masa Arief Yahya berkuasa di Sapta Pesona, tentu Rinjani dan pelaku industri bisa meminta publikasi dan peningkatan tata kelola secara maksimal.

Rupanya, pengelola Rinjani dan masyarakat sekitar, tidak siap menjadi "artis molek" yang dalam sekejap mendapatkan sorotan lampu ribuan watt dari segala penjuru. Mereka seperti kembali ke dasar: berebut kue—yang sebetulnya bisa dibagikan dengan komunikasi kuat.

!break!

Ayo, Maksimalkan Penghargaan!

"Saya sudah tidak permasalahkan soal special recognition award itu kok. Ah, itu kan hanya piagam penghargaan saja," kata Arief Yahya di teras restoran hotel bintang lima di Manila kepada sejumlah jurnalis Indonesia. Raut wajahnya terlihat datar. Senyumnya kembali terkulum. Canda khasnya terlontar lagi.

Baginya, Indonesia tetap menjadi juara umum dalam gelaran ASEANTA Awards 2016. Ada tiga kategori yang berhasil diboyong ke tanah air itu antara lain: Kategori Best ASEAN Tourism Photo, Agung Parameswara dengan karya fotografi berjudul "Morning In Bromo, Indonesia."

Kategori lainnya adalah, Best ASEAN Cultural Preservation Effort, yang dimenangi Saung Angklung Mang Udjo, Bandung. Tokoh yang amat peduli dengan musik tradisional Sunda, Jawa Barat. Penghargaan itu diterima Taufik Hidayat, Manajer Saung Mang Ujo. (Baca juga: Dunia Mengapresiasi Kepariwisataan Indonesia)

Sementara itu, kategori ketiga yang berhasil mengalahkan lawan-lawannya adalah Best ASEAN Travel Article, dengan tema "The Perfect Wave" di Colour Magazine, Garuda Indonesia. Sentot Mujiono, Vice President Asia Region yang menerima award itu.

"Kemenangan itu direncanakan!" tegas Arief. "Awarding di level regional dan global itu harus kita rebut. Istilahnya kalibrasi, yakni kalau kita mengikuti kriteria yang berstandar internasional, yang sudah teruji dan terbukti di destinasi kelas dunia, itu sudah pasti baik. Otomatis, objek wisata kita juga available dengan wisman yang sudah berpengalaman internasional juga."

Selain itu, penghargaan juga membuat kita semakin confidence, percaya diri, bahwa kualitas layanan dan atraksi yang dimiliki tidak kalah dari negara lain. Melihat potensi pariwisata Indonesia, memang tidak boleh merasa rendah diri apalagi merasa rendah. "Award juga mendongkrak kredibilitas kita di dunia internasional. Apalagi award itu diperoleh dengan cara-cara yang fair, betul-betul karena kualitas, dan dikeluarkan oleh lembaga yang kredibel," lanjutnya.

Menteri Pariwisata Arief Yahya menyalami Sentot Mujiono, Vice President Asia Region Garuda Indonesia yang mendapatkan penghargaan Best ASEAN Travel Article dalam gelaran ASEANTA Awards 2016 yang disaksikan oleh Presiden ASEAN Tourism Association Aileen Clemente (kanan). (Bayu Dwi Mardana)

"Indonesia harus menjadi leader, pemimpin di regional ASEAN dan menuju ke global. Penghargaan dari ASEANTA dan UN-WTO itu adalah bukti, lanjut Arief, bahwa jika serius, tidak ada yang tidak bisa. Mengejar award, dengan segala kriteria itu, secara otomatis akan mendekatkan diri pada standar dunia. "Ada 14 pilar yang kita pakai sebagai acuan, yang juga dijadikan alat ukur competitiveness index oleh World Economic Forum (WEF). Jadi, sekali merengkuh dayung dua tiga pulau terlampaui. Membangun destinasi dengan standar dunia, membuat objek wisata semakin bagus, bisa dikompetisikan di tingkat dunia dan berpotensi menang!" kata dia.

Karena itu, Arief menargetkan untuk menyapu bersih ASEANTA Award tahun depan. Sekaligus menemukan destinasi baru yang akan diformat menjadi calon-calon jawara. "Sekaligus ajang kompetisi yang fair. Kita punya banyak potensi kok?" sebutnya. Menpar menyebut 10 destinasi unggulan yang akan menjadi 10 "Bali baru". Dari Toba, Tanjung Kelayang Belitung, Tanjung Lesung Banten, Pulau Seribu Jakarta, Borobudur Jawa Tengah, Bromo Jawa Timur, Mandalika Lombok, Labuan Bajo NTT, Wakatobi Sultra dan Morotai Maltara.

Pengamat ekonomi yang juga founder MarkPlus Hermawan Kertajaya memperkuat Arief Yahya itu. "Kalau Brand Equity kuat, maka ada beberapa benefit. Indonesia akan makin masuk Consideration Set para turis yang mau milih destinasi. Terutama bagi yang belum punya awareness tinggi terhadap Indonesia," jelas Hermawan.

Penghargaan UNWTO untuk Pemerintah Kabupaten Banyuwangi dapat dimanfaatkan secara maksimal dalam kegiatan promosi destinasi untuk meningkatkan kunjungan wisatawan. (Olah foto oleh Zulfiq A. Nugroho/National Geographic Indonesia)

Lalu, lanjut dia, Country Brand Association Indonesia akan menjadi makin tajam sesuai dengan kategori awards yg diperoleh. "Ini sangat penting untuk masuk dalam segmen yang pas dengan kategori yang bersangkutan," ungkap Hermawan. Di sinilah, pentingnya memperkuat dan mempertajam branding Wonderful Indonesia di semua lini, termasuk memenangi persaingan di awarding.

Apa lagi? "Ya. Menguatkan keyakinan customer dalam bentuk guarantee pada customer yang tercermin pada price differentiation. Dengan begitu, dampaknya bukan hanya pada jumlah turis dan kunjungan yang akan datang, tapi juga spending-nya ketika berada di Indonesia," jelas Hermawan.

Dengan begitu, para penerima penghargaan itu berhak memaksimalkan apa yang telah mereka capai dalam melakukan promosi dan publikasi. Tentu, promosi itu harus diiringi dengan prestasi yang dipertahankan. Dan, kita senantiasa belajar dari kesalahan.