Berburu Kesempatan Langka Seumur Hidup

By , Kamis, 11 Februari 2016 | 19:00 WIB

Gerhana matahari total adalah fenomena alam biasa. Menjadi langka dan istimewa karena tidak semua wilayah Bumi dapat menyaksikannya. Rata-rata, gerhana matahari total bisa disaksikan sekali dalam 375 tahun di titik yang sama di muka Bumi.

Lamanya rata-rata perulangan waktu terjadinya gerhana matahari total (GMT) membuat banyak orang berburu gerhana. Perburuan seringkali dilakukan dengan cara yang tidak biasa, mulai dari mendatangi lokasi-lokasi terpencil di berbagai belahan Bumi hingga mengamati gerhana dari ketinggian stratosfer Bumi.

Alasan berburu gerhana pun beragam, mulai dari hanya ingin menyaksikan dan merasakan sensasi perubahan suasana saat piringan Matahari tertutup sepenuhnya oleh piringan Bulan, melakukan berbagai penelitian ilmiah atau membuktikan teori baru, hingga melepaskan hasrat berkelana.

“Saya ingin seperti Tintin (tokoh komik Petualangan Tintin), bertualang sekalugus menyalurkan minat pada ilmu luar angkasa,” kata WIcak Soegijoko (49), pekerja bidang telekomunikasi, beberapa waktu lalu.

Hasrat itu dimiliki Wicak sejak kecil. Minat itu membawa Wicak menyaksikan GMT pada 11 Juni 1983 di Cilacap, Jawa Tengah, saat masih duduk di bangku sekolah menengah atas. Ia juga bisa menyaksikan GMT pada 18 Maret 1988 di atas feri yang membawanya dari Palembang, Sumatera Selatan, menuju Pulau Bangka, dan gerhana matahari cincin pada 26 Januari 2009 dari Tanjung Lesung, Banten.

“Sukar dijelaskan bagaimana rasanya melihat gerhana matahari,” ujarnya. Ada rasa puas dan beruntung karena bisa menyaksikan fenomena alam yang langka, sekaligus rasa penasaran karena seharusnya bisa mempersiapkan diri mengamati gerhana lebih baik.

Namun hal pasti yang dirasakan Wicak adalah rasa diri sebagai manusia yang kecil di alam semeta nan mega luas.

“Jadi, kenapa masalah-masalah manusia yang kecil dan tidak berarti harus dijadikan masalah besar?” katanya.!break!

Rasa takjub itu juga dialami Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN) Thomas Djamaluddin saat mengamati GMT pada 18 Maret 1988 di Pantai Penyak, Bangka Tengah, Bangka Belitung. Ketika itu, ia baru 1,5 tahun menjadi peneliti Lapan dan berutgas memotret proses gerhana menggunakan teleskop.

Pemotretan di awal proses gerhana, saat masih berlangsung gerhana matahari sebagian, berjalan lancar. Saat fase totalitas gerhana berlangsung, pemotretan seharusnya dilakukan dengan melepas filter pengurang intensitas cahaya Matahari yang ada di ujung teleskop.

“Saat totalitas gerhana matahari berlangsung, suasana berubah gelap, korona Matahari pun terlihat indah berkilauan,” ujarnya.

Ketakjuban itu membuat Thomas lengah dan lupa sesaat dengan tugasnya. Ia baru sadar saat fase totalitas gerhana hampir berakhir. Beruntung, atasannya yang sudah berpengalaman berhasil memotret fase total gerhana itu dengan menggunakan teleskop lain.

Perasaan beruntung bisa menikmati gerhana matahari juga diungkapkan Jefferson Teng (35), wiraswasta sekaligus astronom amatir asal Lampung. Secara kebetulan, ia bisa menyaksikan dua gerhana matahari yang terjadi selama 2009, yaitu gerhana matahari cincin pada 26 Januari dari kota kelahirannya, Bandar Lampung, dan GMT pada 22 Juli dari Shanghai, Tiongkok, kota tempatnya menempuh pendidikan.