Memata-matai Sang Pemuja Madu

By , Selasa, 16 Februari 2016 | 08:30 WIB

Bedu kecil berjalan gontai sendirian, kemudian menceburkan badannya ke sebuah kolam dangkal. Dia bergulung-gulung, lalu menggigit sebuah ban mobil sembari menepuk-nepukan ban itu ke kolam air. Tampaknya suasana sore yang cerah turut meriangkan hatinya.

Sementara, Bennie yang badannya lebih besar muncul dari rerimbunan semak. Kemana pun dia berjalan, serombongan nyamuk selalu mengikutinya. Di tumpukan balok-balik kayu, dia mencium sesuatu. Tangannya menemukan sebongkah buah lai nan lezat—dan menikmatinya dengan khidmat.    

Tidak seperti beruang lainnya, Bennie mendapat kesulitan ketika mengupas buah-buahan. Dia tak lagi mempunyai kuku dan taring—senjata andalannya untuk bertahan hidup. Namun, tampaknya Bennie yang penyuka mangga ini sudah beradaptasi soal keterbatasannya: Memukulkan buah itu ke permukaan yang keras hingga terkoyak daging buahnya.

Dari gardu pandang, kami memata-matai  tingkah beruang madu atau sun bear, Bedu dan Bennie. Nama “sun bear” mengacu pada tanda kuning di dada beruang tersebut. Sementara di Indonesia, beruang ini lebih populer dengan julukan “beruang madu” lantaran salah satu santapannya adalah madu kelulut—lebah tak bersengat. Jika beruang ini menemukan sarang kelulut, seharian dia akan berusaha menggapainya.

Caecilia Nurimpikanasari,Kepala Divisi Pendidikan Lingkungan Hidup KWPLH, menunjukkan salah satu papan peraga yang memaparkan segala hal tentang kehidupan dan perilaku beruang madu. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Ada delapan keluarga beruang yang menghuni di Bumi. Beruang kutub memiliki badan yang paling besar, sementara beruang madu memiliki badan yang paling kecil.

Para beruang madu itu awalnya dipelihara oleh warga. Dalam kemalangan, mereka diselamatkan ke Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup (KWPLH) sejak sekitar tujuh tahun silam.  Lokasinya di Karangjoang, pinggiran Balikpapan, Kalimantan Timur, beberapa kilometer dari Hutan Lindung Sungai Wain. Pengunjung dapat mengamati kehidupan beruang madu lewat jembatan kayu yang mengeilingi sebagian kandang alami mereka.

"Beruang membutuhkan lahan yang luas untuk berkembang biak. Seluas Kota Balikpapan itu hanya untuk dua beruang saja.”

Tujuan utama KWPLH adalah mengenalkan maskot kota Balikpapan, yaitu beruang madu. Jumlah pemandu kawasan lestari ini ada enam orang—dan kebetulan perempuan semua. Mereka merupakan warga yang menghuni sekitar kawasan lestari tersebut. Tri Wahyuni, pemandu termuda yang berusia 17 tahun, menjelaskan kepada kami tentang kehidupan beruang madu.

Terdapat tujuh beruang madu yang hidup di kandang alami terbuka KWPLH seluas 1,3 hektare. “Sebenarnya ini sempit sekali untuk mereka,” ujar Wahyuni yang merupakan pemandu termuda. “Beruang membutuhkan lahan yang luas untuk berkembang biak. Seluas Kota Balikpapan itu hanya untuk dua beruang saja.”

Di kehidupan sebelumnya, Bennie pernah dipelihara oleh seseorang dalam kandang berjeruji. Akibat sering menggigit-gigit jeruji besi itulah dia mengalami infeksi. Ketika disita pemerintah, kuku dan taringnya dicabut sehingga menyebabkan infeksi kronis di bagian tangan dan mulutnya. Kini, Bennie sudah sehat, malangnya kuku dan taringnya tidak akan tumbuh lagi.

 

Pengunjung Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup di Karangjoang, Balikpapan, Kalimantan Timur. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Meskipun badan Bennie selalu diikuti nyamuk—seperti orang yang jarang mandi—tampaknya ada juga betina yang mendekatinya. Sore itu Idot, beruang betina, mengamati Bennie dari kejauhan. Rupanya Bennie ogah-ogahan menanggapi kedatangan betina penggoda yang terkenal suka sekali bermain gulat-gulatan bersama beruang jantan.

Sang penggoda itu memiliki tengara yang mudah dikenali: Tanda yang melingkari dadanya—bukan tato sensual tentunya. Dahulu, pemilik Idot melingkari beruang madu itu dengan besi. Akibat tak pernah dikendorkan, padahal tubuh Idot membesar, besi itu menekan badannya dan meninggalkan bekas yang melingkari dada.

Sang penggoda itu memiliki tengara yang mudah dikenali: Tanda yang melingkari dadanya—bukan tato sensual tentunya.

Kisah kehidupan di kandang alami ini layaknya seperti sinetron, atau opera sabun. Kalau ada betina penggoda, ada pula betina pencemburu. Kami menyaksikan beruang betina yang malu-malu, namanya Anna. Mungkin lantaran menjadi beruang bertubuh terkecil di kandang ini, Anna kerap menyendiri. Namun, sejatinya dia adalah seorang pencemburu. Anna tidak suka kalau ada jantan lain mendekati Idot.

Pernah juga Anna melabrak Idot lantaran betina penggoda itu kepergok berusaha mendekati Bennie, demikian kata Wahyuni. Kalau sudah terjadi keributan, biasanya Batik, melerai mereka. Sore itu Batik berada di tumpukan kayu bersama Bennie.

Orang tua dan anak-anak dapat meniti jalan panggung yang mengitari kandang terbuka bagi beruang madu di Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup, Balikpapan, Kalimantan Timur. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Kemudian Harris muncul dengan gayanya yang berwibawa. Tampaknya, beruang jantan ini mencium aroma buah lai yang tengah disantap Bennie. Dia merupakan beruang madu dengan badan paling bongsor di kandang terbuka ini. Meskipun badannya besar dan kuat, Harris merupakan beruang madu yang juga mengalami kemalangan. Pemiliknya dahulu memukulinya hingga mata kanannya buta.

Lalu, siapakah penghuni ke tujuh? Dia adalah si mungil Pedro. Usianya baru dua tahun. Dia menghuni kandang ini sejak pertengahan tahun lalu. Kandangnya dipisahkan dari beruang-beruang dewasa. Hobinya, seperti bayi pada umumnya, gemar mengisap jemari tangannya.

“Dayak tidak mungkin berburu beruang karena mereka punya legenda sendiri dari nenek moyang mereka—kearifan.”

Apakah beruang-beruang itu selalu ditakdirkan dalam kemalangan karena ulah manusia?

“Dalam sejarah beruang,” ungkap Caecilia Nurimpikanasari, “tidak ada beruang yang dianggap jelek.” Caecilia merupakan Kepala Divisi Pendidikan Lingkungan Hidup KWPLH. Dia menunjukkan kepada saya sebuah papan di ruang pendidikan interaktif. Papan tersebut menerangkan berbagai legenda yang memuliakan beruang dari berbagai tradisi budaya dunia. Dari suku Inuit di Kutub Utara, suku Indian Cherokee di Amerika Utara, Kolombia, Yunani, Jepang, Korea, Tibet, hingga Dayak.

Dalam leganda suku Dayak dikisahkan seekor beruang madu dan seekor kijang tidak sengaja memakan tumbuhan yang sudah dikencingi dua orang lelaki. Kedua satwa itu kemudian hamil dan melahirkan anak manusia. Keduanya juga berubah menjadi manusia. Akhirnya, mereka hidup bersama suami dan anak -anak mereka.“Dayak tidak mungkin berburu beruang,” ungkap Caecilia, “karena mereka punya legenda sendiri dari nenek moyang mereka—kearifan.”

Kisah ini pernah terbit dalam buklet National Geographic Traveler 2014.

Suvenir dari Kawasan Wisata Pendidikan Lingkungan Hidup. Dana yang terkumpul dari penjualan suvenir akan digunakan untuk perawatan beruang madu. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)