"Kapal Goyang, Kapten! Kapal Goyang, Kapten!"

By , Selasa, 16 Februari 2016 | 15:30 WIB
Tongkat itu berujung paku yang dibentuk seperti lengan Kapten Hook dalam kisah Peter Pan and The Pirates.

Saya tidak tahu julukan setempat untuk kudapan-kudapan itu, namun saya mengenali bentuknya: kue bantal bertabur wijen, nagasari isi pisang, bakpao, tahu isi, dan pisang goreng. Pilihan saya pun jatuh pada si legit pisang goreng.

Mendung berkerumun mengulung angin di langit barat daya. Topi tanggui seorang ibu terbang hingga jatuh ke sungai. Bersama gelombang, angin pagi telah menjamah dan menggoyang perahu-perahu pedagang. Pertanda buruk: ini badai kepagian.

Para pedagang mengemasi dagangan di perahunya. Mereka menutupinya dengan terpal, lalu bermantel dan meninggalkan tempat selekas mungkin. Perahu bisa terempas angin jika mereka terlalu lama di tengah sungai. Arena hiruk-pikuk Pasar Kuin seketika senyap, hanya suara angin dan kemerotak terpal perahu kami karena didera hujan deras.

Kecap Asin No.1 Cap "Tulis" yang dibuat oleh Perusahaan Merk Tong Gwan, Banjarmasin. Teman ketika bersantap soto banjar. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Bagi para pedagang yang tak sempat pulang, mereka menambatkan perahunya di kayu-kayu gelondongan tepian sungai. Haji Udin melakukan hal serupa, kemudian dia melepaskan gulungan terpal di sisi kanan dan kiri perahunya.  

“Kapal goyang Kapten! Kapal goyang Kapten!” saya menyenandungkan lirik yang pernah dilantunkan rapper kondang Iwa K—sekedar untuk penawar resah. Kami memang bertahan bersama rasa resah dalam kekacauan. “Anginnya kencang sekali,” ujar seorang pedagang perempuan yang menyelamatkan diri dengan berteduh bersama kami. “Ini tidak seperti biasanya!”—Waduh!

“Kapal goyang Kapten! Kapal goyang Kapten!” saya menyenandungkan lirih sebuah lirik yang pernah dilantunkan rapper kondang Iwa K—sekedar penawar resah.

“Musim itu telah berlalu. Matahari segera berganti. Badai pasti berlalu...” Setelah hampir setengah jam, saya berharap nyanyian lawas dapat meredakan cuaca pagi itu. Saya membuka terpal, badai telah berlalu: Sepi tanpa perahu pedagang. Mereka memutuskan untuk pulang dan akan kembali berdagang esok pagi.

Nun jauh, hanya satu perahu tetap tegar. Perahu itu berwarna kuning mencolok bertuliskan “Warung Makan Goyang Terapung. Sedia Nasi Soto, Nasi Rawon, Nasi Kuning”. Aha, kami segara berlabuh menuju ke sana, menambatkan perahu kami di lambung perahu warung terapung itu—dan juga menambatkan perut kami yang belum sarapan.

Cuaca memang telah kembali tenang di Sungai Barito. Namun, nasi kuning dengan lauk telur bulat berbumbu bali nan pedas telah menerbitkan, bagi kami, gemuruh dan gelora badai selera.

Klenteng Kwan Im di Kampung Pacinan Laut, Banjarmasin. Perkampungan cina ini dapat diakses melalui kanal yang bermaura di Sungai Barito. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)