"Kapal Goyang, Kapten! Kapal Goyang, Kapten!"

By , Selasa, 16 Februari 2016 | 15:30 WIB

“Kita akan tahu kalau sudah sampai Kalimantan Selatan,” ujar Makmur dalam perjalanan berselimut malam. “Jalanannya lebih mulus ketimbang Kalimantan Timur. Bener itu!”

Makmur adalah pengemudi mobil dalam perjalanan ini. Kalau kita mendengar sebutan “Makmur”, barangkali yang akan terbayang di benak kita adalah sosok berpipi gembil dan berbadan gembul. Namun, semuanya salah. Dia berbadan kurus dengan jambulnya yang menusuk angkasa. Ketika saya bertanya apakah kehidupannya sudah seperti namanya, dia hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.

Selama sepuluh hari, kami telah mencumbui bukit-bukit di Kalimantan Timur, hingga pesisir Kalimantan Selatan. Tibalah kami di ujung perjalanan, Banjarmasin, sebuah kota yang tampak seperti kepulauan karena dibelah-belah sungai. Kota Seribu Sungai, demikian para pelancong menjulukinya.

“Harga rempah tidak pasti, tergantung banyaknya jung Cina yang berada di sungai ini,” demikian tulis Salmon dalam bukunya yang terbit pada 1744.

Ketika para warga beringsut menuju masjid untuk beribadah salat subuh, kami menyusuri perkampungan di Alalak Selatan, tepian Sungai Barito. Sungai ini merupakan bengawan yang menandai peradaban Kota Banjarmasin. Alirannya, berhulu di kawasan Kalimantan Tengah, melintasi Kalimantan Selatan, kemudian bermuara ke Laut Jawa.

Sungai ini mengingatkan saya pada Thomas Salmon, sejarawan dan geografer asal Inggris abad ke-18. Dia pernah mencatat bahwa sungai besar yang melintasi kota ini dikenal juga sebagai Sungai Cina. Kapten Beeckman, seorang perwira kapal asal Inggris, menuturkan kepadanya  bahwa banyak perahu jung asal Cina yang bertebaran di muara bengawan itu. “Harga rempah tidak pasti, tergantung banyaknya jung Cina yang berada di sungai ini,” demikian tulis Salmon dalam bukunya yang terbit pada 1744.

Jalan menuju pelabuhan di tepian Barito, Kalimantan Selatan. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sekarang perahu-perahu jung memang tak menjamah sungai ini lagi, digantikan oleh perahu-perahu klotok. Jelang fajar, kami menyewa satu perahu klotok—kapal bermesin dengan kapasitas pernumpang sekitar sepuluh orang. Dari dermaga Kawasan Wisata Pasar Terapung, kami menembus kegelapan ke arah Pulau Alalak, delta Barito.

“Di Muara Alalak itulah Pasar Kuin berada,” kata Haji Udin, nakoda sekaligus pemilik merangkap kru perahu. Warga kampung meyakini bahwa kawasan Kuin atau Kuyin merupakan jejak kampung Melayu, cikal bakal “Banjarmasih”. Entah sejak kapan orang-orang menyebutnya sebagai “Banjarmasin”.

Sepintas gaya busana itu mirip kostum dewi-dewi Yunani kuno. Bedanya, para dewi Yunani mengenakan busana kain putih, sementara kaum perempuan di sepanjang Barito mengenakan sarung motif kotak-kotak.

Deru mesin perahu membelah dingin dan kelamnya air sungai. Sejujurnya, saya sungguh ngeri berperahu tanpa penerangan di pagi buta. Perahu-perahu lain membawa lampu petromaks sebagai penerangan, sementara kapal kami gelap. Hanya bara rokok Haji Udin yang menandai kehidupan di perahu ini. Kadangkala, saya was-was tentang perahu lain yang menuju ke arah kami, apakah mereka mengenali perahu kami atau tidak. 

Sekitar pukul enam pagi, langit samar-samar membiru. Suara mesin klotok mulai ramai terdengar. Para perempuan berjalan di tepian dengan kostum pentas mandi—mengenakan sarung yang diikat pada salah satu pundak mereka supaya tidak melorot. Sepintas gaya busana itu mirip kostum dewi-dewi Yunani kuno. Bedanya, para dewi Yunani mengenakan busana kain putih, sementara kaum perempuan di sepanjang Barito mengenakan sarung motif kotak-kotak.

Pasar terapung di Lok Baintan, Kalimantan Selatan. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Perahu-perahu membawa barang dagangan datang bergelombang dari arah hulu dan hilir. Mereka merapat dan kian merapat di kawasan pasar terapung Kuin, tepian timur Barito. Dalam sekejap, perahu kami berada di tengah-tengah keramaian pasar.

Di jalanan Jakarta, serudukan atau serempetan antarkendaraan bisa berujung adu mulut. Namun, di Sungai Barito kami menjumpai cara berkendara yang damai.

Suasananya mirip jebakan macet di sebuah persimpangan di Jakarta, namun di sini kami menikmati hingar-bingar keruwetan ini. Di jalanan Jakarta, serudukan atau serempetan antarkendaraan bisa berujung adu mulut. Namun, di Sungai Barito kami menjumpai cara berkendara yang damai: Perahu-perahu itu saling seruduk tanpa berujung pada meletupnya serentetan cacian.  

Di arah halauan, seorang ibu dengan topi tanggui, semacam caping dari anyaman daun nipah, menjajakan dagangannya kepada kami: buah rambutan, timun suri, dan semangka. Di lambung kanan perahu, tampak nenek-nenek mendayung perahunya yang berjejalan hasil kebun. Dan, tak terhitung lagi perahu di sekitar kami.

Nasi kuning dan telur sambal yang dihidangkan dari sebuah kedai di atas kapal "Goyang Terapung". Selain nasi kuning, hidangan khas lainnya adalah soto banjar. Nikmat disantap usai badai kepagian. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Sementara, di arah buritan seorang penjual kudapan pagi sibuk melayani perahu yang menghimpitnya. Si penjual memberikan tongkat kepada pembeli. Tongkat itu berujung paku yang dibentuk seperti lengan Kapten Hook dalam kisah Peter Pan and The Pirates. Kemudian dengan tongkat itu si pembeli menggaet aneka kudapan yang diinginkannya.

Tongkat itu berujung paku yang dibentuk seperti lengan Kapten Hook dalam kisah Peter Pan and The Pirates.

Saya tidak tahu julukan setempat untuk kudapan-kudapan itu, namun saya mengenali bentuknya: kue bantal bertabur wijen, nagasari isi pisang, bakpao, tahu isi, dan pisang goreng. Pilihan saya pun jatuh pada si legit pisang goreng.

Mendung berkerumun mengulung angin di langit barat daya. Topi tanggui seorang ibu terbang hingga jatuh ke sungai. Bersama gelombang, angin pagi telah menjamah dan menggoyang perahu-perahu pedagang. Pertanda buruk: ini badai kepagian.

Para pedagang mengemasi dagangan di perahunya. Mereka menutupinya dengan terpal, lalu bermantel dan meninggalkan tempat selekas mungkin. Perahu bisa terempas angin jika mereka terlalu lama di tengah sungai. Arena hiruk-pikuk Pasar Kuin seketika senyap, hanya suara angin dan kemerotak terpal perahu kami karena didera hujan deras.

Kecap Asin No.1 Cap "Tulis" yang dibuat oleh Perusahaan Merk Tong Gwan, Banjarmasin. Teman ketika bersantap soto banjar. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)

Bagi para pedagang yang tak sempat pulang, mereka menambatkan perahunya di kayu-kayu gelondongan tepian sungai. Haji Udin melakukan hal serupa, kemudian dia melepaskan gulungan terpal di sisi kanan dan kiri perahunya.  

“Kapal goyang Kapten! Kapal goyang Kapten!” saya menyenandungkan lirik yang pernah dilantunkan rapper kondang Iwa K—sekedar untuk penawar resah. Kami memang bertahan bersama rasa resah dalam kekacauan. “Anginnya kencang sekali,” ujar seorang pedagang perempuan yang menyelamatkan diri dengan berteduh bersama kami. “Ini tidak seperti biasanya!”—Waduh!

“Kapal goyang Kapten! Kapal goyang Kapten!” saya menyenandungkan lirih sebuah lirik yang pernah dilantunkan rapper kondang Iwa K—sekedar penawar resah.

“Musim itu telah berlalu. Matahari segera berganti. Badai pasti berlalu...” Setelah hampir setengah jam, saya berharap nyanyian lawas dapat meredakan cuaca pagi itu. Saya membuka terpal, badai telah berlalu: Sepi tanpa perahu pedagang. Mereka memutuskan untuk pulang dan akan kembali berdagang esok pagi.

Nun jauh, hanya satu perahu tetap tegar. Perahu itu berwarna kuning mencolok bertuliskan “Warung Makan Goyang Terapung. Sedia Nasi Soto, Nasi Rawon, Nasi Kuning”. Aha, kami segara berlabuh menuju ke sana, menambatkan perahu kami di lambung perahu warung terapung itu—dan juga menambatkan perut kami yang belum sarapan.

Cuaca memang telah kembali tenang di Sungai Barito. Namun, nasi kuning dengan lauk telur bulat berbumbu bali nan pedas telah menerbitkan, bagi kami, gemuruh dan gelora badai selera.

Klenteng Kwan Im di Kampung Pacinan Laut, Banjarmasin. Perkampungan cina ini dapat diakses melalui kanal yang bermaura di Sungai Barito. (Mahandis Yoanata Thamrin/National Geographic Indonesia)