Mitologi-Mitologi Gerhana di Nusantara

By , Kamis, 3 Maret 2016 | 09:00 WIB

Syahdan, hiduplah raksasa bernama Rau di Pulau Bangka. Sang raksasa ingin mempersunting salah satu dewi di kahyangan sana. Namun hasrat Rau itu ditolak sang Dewi. Dari sana kisah bermula.

Tak terima penolakan itu, Rau berusaha memaksa sang Dewi. Deewa Surya (Matahari) dan Dewa Candra (Bulan) yang tak suka pemaksaan itu mengadukan Rau kepada Dewa Wisnu.

Wisnu akhirnya menghukum Rau. Ia memanah leher sang raksasa hingga terputus dari badan. Kepala Rau jatuh, masuk dalam Telaga Amerta berisikan air suci untuk keabadian para dewa. Ada pun badan Rau seketika mati dan jatuh ke tanah.

Penghukuman itu membuat Rau marah. Kepala raksasa yang telah abadi berkat air suci pun terus berusaha mengejar sang Dewi idamannya. “Bulan dan Matahari menjadi tempat persembunyian sang Dewi sehingga Rau selalu berusaha memakan Bulan atau Matahari agar sang Dewi muncul dan terjadilah gerhana,” kata Akhmad Elvian, sejarawan Bangka, beberapa saat lalu.

Mitos Rau merupakan pengaruh budaya Hindu yang masuk Pulau Bangka sejak abad ketiga Masehi. Berabad-abad itu pula, “Rau menghantui” warga Bangka. Untuk mengusir sang raksasa, masyarakat biasa membuat keributan dan kegaduhan, memukul bermacam benda.

“Sampai gerhana matahari total 18 Maret 1988 yang melintasi Bangka, orang-orang masih ketakutan. Sebagian orang lari ke hutan, sedangkan sebagian lain bersembunyi di kolong ranjang,” ujar Elvian yang juga Kepala Dinas Kebudayaan Pariwisata, Pemuda dan Olahraga Kota Pangkal Pinang, Provinsi Bangka Belitung.

Cerita rakyat yang hidup di Pulau Bangka sedikit berbeda dengan cerita aslinya dari India. Menurut Elvian, Rau yang disebut Rahu hendak mencuri resep keabadian para dewa di kolam Tirta  Amerta agar ia bisa abadi seperti para dewa.

Mengetahui ulah Rahu, Dewa Surya dan Dewa Candra pun mengadukannya kepada Dewa Wisnu. Ketika itu, Rahu sedang meminum air suci untuk mengubah wujudnya menjadi dewa.

Wisnu yang marah pun menghukum Rahu dengan memenggal kepalanya menggunakan Cakra pusaka miliknya. “Kepala Rahu yang terpenggal masuk ke kolam Tirta Amerta sehingga bertahan hidup dan abadi. Kepala itu mengembara di langit dan selalu mengejar dan memakan Dewa Surya dan Candra,” katanya.

Di Jawa, Rau disebut sebagai Batara Kala. Meski demikian, dalam naskah Jawa Kuno Adiparwa berangka tahun 998 Masehi yang diduga sebagai naskah tertua di Tanah Air yang menceritakan mitologi gerhana, sang raksasa pemakan matahari atau bulan itu tidak bernama. Tidak disebut sebagai Rau, Rahu atau pun Batara Kala.

Dalam Bab VI Adiparwa disebutkan, seorang raksasa yang merupakan anak Sang Wipracitti dan Sang Singhika berubah wujud menjadi dewa dengan meminum air amerta. Sang Hyang Aditya (Dewa Matahari) dan Sang Hyang Candra (Dewa Bulan)yang mendahului ulah raksasa pun mengadukannya kepada Dewa Wisnu.!break!

Sewaktu air amerta memasuki kerongkongan raksasa, Dewa Wisnu memenggal lehernya. Badan raksasa yang belum terkena air amerta mati dan jatuh ke tanah, teronggok bagai puncak gunung. Saat tubuh raksasa itu mengempas tanah, terjadilah gempa bumi saking beratnya bangkai badan sang raksasa.

Adapun kepala raksasa tersebut abadi dan melayang-layang di angkasa karena tersiram kesucian air amerta. Dalam keabadian itu, kepala raksasa menaruh dendam kepada Dewa Matahari dan Dewa Bulan seingga seslalu berusaha memakan Matahari dan Bulan.