Mitologi-Mitologi Gerhana di Nusantara

By , Kamis, 3 Maret 2016 | 09:00 WIB

Meski alur cerita Rau, Rahu ataupun Batara Kala sedikit berbeda, akhir ceritanya sama. Gara-gara Dewa Matahari dan Bulan, sang raksasa gagal meraih keabadian. Karena itu saat menjumpai Matahari dan Bulan, sang raksasa selalu ingin mencaploknya dan terjadilah gerhana

Mitologi Dayak

Berbeda dengan mitologi gerhana di Bangka dan Jawa, masyarakat Dayak percaya, ketika gerhana matahari, Matahari dikuasai Jangkarang Matan Andau, manifestasi dari Hyang Ilahi. Gerhana adalah pertanda dari Jangkarang Mantan Andau bagi keberlangsungan hidup manusia pada masa datang.

“Jika gerhana matahari terjadi pagi hari atau subuh, itu pertanda baik bagi mereka yang berusia muda, mulai dari baru lahir hingga usia dewasa, akan memnperoleh terang kehidupan. Pada pagi hari terdapat kesegaran, kesejukan dan kesehatan,” kata Bajik Rubuh Simpei, rohaniwan Hindu Kaharingan, di Palangkaraya, Kalimantan Tengah.

Selanjutnya, apabila gerhana terjadi siang hari, perlu diwaspadai akan terjadi bencana atau gejolak di kemudian hari. Sifat siang hari yang panas rentan menimbulkan gejolak yang harus diantisipasi pada masa depan. Jika gerhana matahari terjadi sore hari, masyarakat Dayak meyakini pada masa mendatang akan datamai, aman dan penuh berkat.

“segala tanda dari fenomena alam itu untuk mendorong manusia mawas diri dan berhati-hati menghadapi masa depan,” katanya.

Saat terjadi gerhana, puji-pujian pun dihaturkan melalui upacara adat oleh balian (dukun) dengan mendaraskan mantra dan doa dalam bahasa Sangiang atau bahasa leluhur. Ritual itu untuk menjaga keseimbangan alam semesta sekaligus ungkapan syukur kepada Tuhan.

“Yang penting diingat adalah alam telah membantu dan mendampingi manusia, tinggal bagaimana manusia melestarikan dan terus hidup berdampingan dengan alam,” ujar Bajik.

Sementara itu, Ketua Majelis Daerah Agama Hindu Kaharingan Kota Palangkaraya Prada mengatakan, saat saat gerhana matahari tiba, terdapat energi negative yang harus dihalau manusia. Karena itu, saat gerhana matahari, remaja biasanya keluar rumah sambil menutupi kepalanya dengan wajan agar rambutnya tidak segera beruban.Selain itu, dibunyikan juga gong, gendang, atau tabuh-tabuhan lain untuk mengusir energi negative itu.

Berbagai mitos gerhana yang tumbuh dan berkembang di masyarakat Nusantara itu memang telah banyak ditinggalkan seiring meningkatnya pengetahuan gerhana dan berpikir rasional. Meski cerita itu tidak akan terungkap kebenarannya, mitos tetap bisa mewarnai, melengkapi dan memperkaya daya pikir manusia Indonesia.

----------------------

Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 17 Februari 2016, di halaman 24 dengan judul "Gerhana dan Dendam Abadi Raksasa Rau".