Supersemar Versi Soeharto

By , Jumat, 11 Maret 2016 | 11:30 WIB

“Pemberontakan ini menimbulkan pemikiran yang mendalam pada pada Pimpinan Angkatan Darat dan ABRI khususnya serta pemimpin-pemimpin masyarakat dan generasi muda pada umumnya,” ujar dia.

Soeharto menganggap, pemberontakan ini harus menjawab sejumlah pertanyaan terkait apa yang menyebabkan terjadi peristiwa itu, serta bagaimana mengatasi akibat yang timbul setelah pemberontakan.   

“Segera kita ketahui bahwa pemberontakan G 30 S itu didalangi oleh PKI dan tujuan akhirnya adalah mengubah Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 untuk diganti dengan sistem lain yang tidak kita terima. Usaha PKI ini adalah yang kedua kalinya, sesudah kegagalan pemberontakan mereka dengan tujuan yang sama pada tahun 1948,” papar Soeharto.

Bukan transfer kekuasaan

Sementara itu, Presiden Soekarno sempat mengecam tindakan Soeharto menggunakan Supersemar di luar kewenangan yang diberikannya.

Dalam pidatonya yang berjudul “Jangan Sekali-Sekali Meninggalkan Sejarah” (Jasmerah), 17 Agustus 1966, Soekarno menegaskan bahwa Supersemar bukanlah “transfer of sovereignity” dan bukan pula “transfer of authority”.

(Baca juga: Jelang Lahirnya Supersemar, Soekarno Ketakutan Istana Dikepung Pasukan Liar)

"Dikiranya SP Sebelas Maret adalah surat penyerahan pemerintahan. Dikiranya SP Sebelas Maret itu suatu transfer of soverignty. transfer of authority. Padahal tidak! SP Sebelas Maret adalah suatu perintah pengamanan. Perintah pengamanan jalannya pemerintahan. Kecuali itu juga perintah pengamanan keselamatan pribadi Presiden. Perintah pengamanan wibawa Presiden. Perintah pengaman ajaran Presiden. Perintah pengamanan beberapa hal!” kata Soekarno.

Tak tegas

Peneliti Sejarah Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Asvi Warman Adam mengatakan, Surat Perintah 11 Maret 1966 (Supersemar) menilai, ada frasa kalimat yang tak tegas dalam Supersemar.

Ia menilai, Soekarno telah membuat kesalahan fatal dengan mencantumkan kalimat "mengambil suatu tindakan yang dianggap perlu." 

Menurut dia, Supersemar sebenarnya berisi perintah Soekarno kepada Soeharto untuk mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk memulihkan ketertiban dan keamanan umum.

Perintah lainnya, meminta Soeharto untuk melindungi Presiden, semua anggota keluarga, hasil karya dan ajarannya.

(Baca: Tiga Kontroversi di Balik Supersemar 11 Maret 1966)

Akan tetapi, Soeharto tidak melaksanakan perintah tersebut dan mengambil tindakan sendiri di luar perintah Presiden Sukarno.

"Frasa itu menjadi blunder yang dilakukan Bung Karno. Seorang sipil memberikan perintah yang tidak jelas pada seorang tentara. Perintah kepada tentara seharusnya itu kan jelas, terbatas, dan jelas jangka waktunya," ujar Asvi.  Asvi menilai, saat mengeluarkan Supersemar, Soekarno berada dalam kondisi tertekan karena serangkaian peristiwa yang terjadi.