Saya melihat seorang anak muda bermotor yang sepertinya hendak siap-siap keluar dari area parkir. Saya memberanikan diri menghampirinya.
“Dik, bisa antara saya ke bandara? Saya harus mengejar pesawat. Tukang ojek pesanan saya sepertinya terjebak macet entah di mana,” kata saya, dengan tetap berusaha tenang. Saya janjikan sejumlah uang sebagai iming-iming.
Tetapi, sepertinya dia tidak terlalu tertarik dengan uang. Dia bingung. “Macet begini, Bang?” katanya, dengan wajah agak panik. Terus terang, saya merasa bersalah telah melibatkan dia dalam persoalan saya. Tetapi, apa boleh buat?
Saya terus membujuk. “Tidak apa, yang penting kita jalan sekarang. Kalau tidak terkejar, ya nasib. Tetapi setidaknya kita berusaha,” kata saya. Dia menoleh ke kiri, ke kanan, seperti mencari-cari jalan. “Oke kita coba ya!”
Keluar dari area Lapangan Merdeka butuh perjuangan dan kesabaran. Jalanan di mana-mana ditutup. Di salah satu ruas jalan, bahkan berhenti total hampir 10 menit. Padahal, setiap menitnya amat berharga.
“Kita lewat kompleks Pertamina ya Bang, agak jauh, tetapi semoga kosong,” kata pemuda—kali ini saya tidak lupa menanyakan nama—bernama Hayyul itu. Dia orang Bontang, tetapi sedang kuliah jurusan perminyakan di Balikpapan. Saya iyakan saja, lagi pula saya buta daerah sini.
Waktu terus memburu. Hayyul tancap gas. Syukurlah, jalan alternatif yang kami tempuh lancar. Sekitar pukul 9.20 akhirnya kami sampai di bandara SAMS. Saya memberikan uang yang saya janjikan, tetapi Hayyul tegas menolak. Saya memaksa. Akhirnya dia luluh. Tergopoh-gopoh, saya berlari menuju terminal keberangkatan. Rekan-rekan lain sudah menunggu di sana.