Iklim Kian Terpuruk, Kenali Lahan Gambut untuk Mencapai Karbon Netral

By Fikri Muhammad, Kamis, 16 Desember 2021 | 09:00 WIB
Hutan di Kampung Minta terdampak kebakaran besar di Kalimantan pada tahun 1997-1998 dan menghanguskan 5.000 hektare hutan di kawasan tersebut. Salah satu permasalahan lahan gambut. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Diperkirakan, emisi dari lahan gambut yang dikeringkan mencapai 1,9 gigaton karbon per tahun. Ini setara dengan 5% dari emisi gas rumah kaca antropogenik global, jumlah yang tak proporsional mengingat lahan gambut yang rusak hanya mencangkup 0,3% dari daratan. Kebakaran di hutan rawa gambut Indonesia pada 2015, misalnya, mengeluarkan hampir 16 juta ton karbon per hari.

Tanah gambut mengandung lebih dari 600 gigaton karbon yang mewakili hingga 44% dari semua karbon tanah, dan melebihi karbon yang tersimpan di semua jenis vegetasi lainnya termasuk hutan dunia. 

Dalam keadaan alami dan basah, lahan gambut menyediakan solusi berbasis alam yang penting untuk beradaptasi dan mengurangi dampak perubahan iklim. Diantaranya mengatur aliran air, meminimalkan risiko banjir dan kekeringan, dan mencegah intrusi air laut. Lahan gambut basah menurunkan suhu lingkungan di sekitarnya, memberikan perlindungan dari panas yang ekstrim. Ini membantu menjaga kualitas udara yang lebih baik. Lahan gambut juga memasok makanan, serat, dan produksi lokal yang menopang perekonomian masyarakat di sekitarnya.

Baca Juga: Pusparagam Mahakam Tengah, Denyut Pelestarian Lanskap Gambut

Kasni, 61 tahun,menganyam topi seraung yang dibuat dari daun telingsing. Tanaman ini hanya tumbuh di kawasan gambut. Masyarakat mulai berupaya mendayagunakan kawasan gambut secara berkelanjutan sebagai bagian untuk menyambung hidup. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Masyarakat landskap Mahakam tengah, Kalimantan Timur memiliki struktur rumah apung. Karena sangat dekat dengan pesisir sungai, hampir semua warga memiliki perahu sebagai transportasi utama. (Donny Fernando/National Geographic Indonesia)

Baca Juga: Studi: Konservasi Lahan Gambut Bisa Kurangi Dampak Pandemi COVID-19

Akan tetapi, berbagai kerusakan juga menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati. Populasi orangutan di Kalimantan turun sebesar 60% dalam 60 tahun akibat hilangnya habitat rawa gambut. Belum lagi ancaman-ancaman lain kepada pesut di Sungai Mahakam yang saat ini berada dalam status kritis (critically endangered), tersisa 80 ekor saja. 

Berkenaan dengan permasalahan itu, Toyota Eco Youth 12 yang digelar pada akhir 2021 mengusung tajuk "Ecozoomers"sebutan untuk Gen-Z yang memiliki kepedulian dalam menyelamatkan lingkungan dengan memanfaatkan teknologi. Kompetisi ini akan mencetak agen perubahan dan mengedukasi anak muda Indonesia untuk berperan dalam upaya mencapai karbon netral.

Acara ini merupakan bagian dari rangkaian Toyota Eco Youth 12 sebagai program lingkungan berkesinambungan yang konsisten oleh Toyota Indonesia dan didukung oleh National Geographic Indonesia. (National Geographic Indonesia)

Nantinya, Toyota Indonesia dan dewan juri akan menetapkan kriteria untuk menyaring tiga proposal sekolah terbaik dari 50 sekolah yang ikut serta dalam program TEY 12. Tiga sekolah terbaik akan dibuatkan aplikasi oleh Toyota Indonesia untuk mendukung proyek dan inovasi peserta TEY 12 agar terciptanya pembangunan yang berkelanjutan.

National Geographic Indonesia bersama Toyota Indonesia akan mengadakan diskusi daring bertajuk "Netralitas Karbon dan Peran Anak Muda Indonesia" pada 17 Desember. Acara itu merupakan bagian dari rangkaian Toyota Eco Youth 12 sebagai program lingkungan berkesinambungan yang konsisten oleh Toyota Indonesia dan didukung oleh National Geographic Indonesia.