HRW Ungkap Kekerasan Terhadap Penderita Sakit Jiwa di Indonesia

By , Minggu, 27 Maret 2016 | 12:00 WIB

Sebuah laporan baru dari Human Rights Watch (HRW) melaporkan rincian mengejutkan mengenai perawatan penderita sakit jiwa di Indonesia, di mana ribuan orang, meski hukum melarangnya, dirantai di tempat tidur atau dikurung di ruangan kecil, terkadang selama bertahun-tahun.

Laporan berjudul “Living in Hell,” mendokumentasikan praktik pasung, atau pengisolasian penderita sakit jiwa dengan cara dikurung di ruangan kecil atau membatasi gerak mereka dengan mengikat mereka dengan tambang atau rantai. 

HRW mendokumentasikan 175 kasus orang-orang dengan disabilitas psikososial yang dipasung atau baru-baru ini dibebaskan dari pasungan. Dalam satu kasus yang lebih ekstrem, seorang pria dikurung di dalam kamar selama 15 tahun. 

Kasus lain melibatkan seorang perempuan 24 tahun yang menderita depresi setelah suaminya menelantarkannya dan anaknya yang masih kecil. Foto-foto menunjukkan ia dirantai ke balai-balai kayu yang merupakan tempat tidurnya.

Setidaknya 18.800 orang saat ini hidup dengan dipasung di Indonesia, menurut laporan tersebut.

Yang menyedihkan, fenomena ini tidak khas milik Indonesia, ujar Shantha Rau Barriga, direktur divisi hak disabilitas HRW, yang berbicara dengan VOA lewat telepon dari Jakarta.

“HRW telah mendokumentasikan pembelengguan dan kekerasan lainnya terhadap orang-orang dengan kondisi kesehatan mental -- disabilitas psikososial -- di sejumlah negara," ujar Barriga.

"Kami mendokumentasikannya di Ghana dan Somalia. Kami melihat orang dikurung di institusi-institusi di Rusia dan Kroasia. Dan kami melihat penyiksaan terjadi di penjara-penjara di Amerika Serikat."

Penyiksaan, menurut Barriga, terjadi meluas dan karena para korban dikurung, mereka "tidak tampak."

Masalahnya diperburuk oleh stigma yang menempel pada penyakit jiwa dan tidak adanya perawatan kesehatan mental berbasis komunitas dan layanan-layanan pendukung. "Yang menyedihkan, ada begitu banyak kesalahan informasi dan persepsi mengenai kesehatan mental," ujar Barriga.

"Orang-orang di Indonesia dan di banyak negara lain melihatnya tidak sebagai kondisi medis, tapi sebagai kutukan, atau bahwa orang tersebut kemasukan setan." Akibatnya, individu-individu yang sakit mental atau keluarga mereka berobat ke dukun atau berdoa untuk "kesembuhan," bahkan di saat perawatan kesehatan mental tersedia.

!break!