Merayakan Keberagaman Asia di Desa

By , Jumat, 1 April 2016 | 18:00 WIB

Seniman Filipina, Yuan Moro Ocampo, menampilkan pertunjukan berjudul Hanacaraka. Karya ini terinspirasi dari makna filosofis aksara Jawa ha-na-ca-ra-ka, da-ta-sa-wa-la, pa-dha-ja-ya-nya, ma-ga-ba-tha-nga. Menurut Yuan, ide karya ini lahir ketika menjalani residensi selama dua minggu di rumah seniman tari Mugiyo Kasido yang juga tempat Studio Mugi Dance.

”Aksara itu memiliki makna dua pihak yang sama-sama kuat bertarung dan akhirnya keduanya mati. Ini menjadi sebuah peringatan bagi manusia. Saya membawanya dalam isu lingkungan, alam akan hancur jika manusia tidak peduli,” katanya.

Adapun penari Mugiyo Kasido menampilkan tari kontemporer Mulut-mulut Kodok. Mugiyo mengenakan semacam topeng yang menutupi mulut dan hidungnya dengan banyak klinthingan (lonceng kecil).

Ia juga mengenakan semacam ikat pinggang yang juga dipasangi banyak klinthingan, demikian juga di pergelangan kakinya. Kedua tangannya memegang dua klinthingan.

Tanpa berpindah posisi, Mugiyo menggerak-gerakkan tangan, kaki, dan kepalanya sehingga terdengar riuh suara klinthingan. Mugiyo kemudian membuang dua klinthingan yang dipegangnya.

Tari ini merupakan kritik sosial Mugiyo terhadap orang-orang banyak yang banyak bicara seperti katak bersuara, tetapi tidak ada hasil nyata. ”Seperti suara kodok yang terdengar nyaring dan indah, tetapi sekadar suara,” katanyaTampil juga dalam Asian Festival itu, penari senior asal Solo, Rusini, serta penari Marvel Gracia dan Magnus Arkan Nala. Pementasan ini juga diramaikan penampilan siswa SD Pucangan 2, Kecamatan Kartasura, dan SD Sambon 2, Kecamatan Banyudono, Boyolali.

Asian Festival yang pertama ini diselenggarakan Mugi Dance Community didukung Japan Foundation Indonesia.

Ketua Pelaksana Program Nur Aryati menuturkan, melalui pementasan seni ini, keragaman seni budaya Asia diperkenallan kepada masyarakat desa dan sekaligus merayakan keberagaman Asia.