Merayakan Keberagaman Asia di Desa

By , Jumat, 1 April 2016 | 18:00 WIB

Seniman Indonesia, Jepang, Thailand, dan Filipina, berbagi warna-warni budaya Asia dalam pementasan seni bertajuk Asian Festival. Melalui pertunjukan sederhana di kompleks Studio Mugi Dance di Desa Pucangan, Kartasura, Kabupate Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (19/3/2016), mereka mengenalkan keragaman budaya Asia kepada masyarakat pedesaan.

Shigemi Kitamura, penari dari Jepang, berdiri di tengah panggung terbuka berbentuk lingkaran yang disebut mandala. Rambutnya yang lurus diikat. Sesekali kedua tangannya direntangkan ke samping, ke bawah, dan ke atas.

Tubuhnya bergerak condong ke kanan, ke kiri, dan ke depan seperti tanaman bunga lavender yang bergoyang tertiup angin. Shigemi membawakan tari kontemporer karyanya yang berjudul Lavender.

Sesaaat kemudian, gerakan tari Shigemi menjadi lincah. Ia melompat-lompat ke sana ke mari, berlari-lari mengitari mandala, berputar, jongkok, berguling, dan berteriak lepas. Tubuhnya lentur meliuk-liuk. Tariannya menggambarkan keceriaan dengan iringan musik riang.

Puluhan warga Desa Pucangan, termasuk anak-anak yang menonton, terkesiap dengan gerakan-gerakan Shigemi. Mereka belum pernah melihat tari semacam itu sebelumnya. Lavender mengisahkan sepenggal pengalaman hidup Shigemi ketika berkunjung ke Perancis.

”Saat itu saya melihat hamparan bunga lavender berwarna ungu di dekat tempat saya tinggal. Awalnya ada perasaan takut karena saat itu saya seorang diri, tetapi kemudian segera beradaptasi dengan alam dan bunga lavender itu,” ujar Shigemi.

Tarian ini sering ditampilkan Shigemi di beberapa negara. Pembaruan-pembaruan gerak tari spontan dilakukan dengan merespons situasi di sekitar panggung, alam, dan penonton.

Sebelum Shigemi menarikan Lavender, pemusik dari Chiang Mai, Thailand, Thitipol Kanteewong, menampilkan musik tiup etnik Thailand, phii hom. Thitipol menyajikan karyanya yang berjudul Dewi Padi. Karya ini terinspirasi siklus tumbuh padi sekaligus menjadi ungkapan syukur kepada sang dewi padi.

Phii hom merupakan alat musik seperti seruling, tetapi diameternya lebih kecil dan pada bagian ujung dekat tempat untuk meniup berbentuk bulat.

Dengan mengenakan pakaian tradisional Thailand, Thitipol memainkan phii hom yang mengeluarkan suara lembut mendayu membawa ketenangan jiwa. Musiknya bagaikan lantunan doa dan penghormatan kepada dewi padi. Penonton seperti terhipnotis, mereka terdiam menikmati alunan phii hom.!break!

Yeni Arama, yang selama ini lebih dikenal sebagai pesinden, menyajikan musik kontemporer dengan alat musik rebab dengan judul ”Sampeyan”. Semula Yeni, menggesek rebab, kemudian memetiknya. Musiknya mungkin terdengar tak biasa bagi sebagian pendengar.

”Sampeyan”, menurut Yeni, yang kini lebih menggeluti rebab, bertutur tentang orang-orang yang tidak pernah bersembahyang dalam ritus keagamaan, tetapi sebenarnya sangat menghormati dan menyanjung Tuhan dalam kesehariannya. ”Kehidupan adalah misteri,” katanya.

Seniman Filipina, Yuan Moro Ocampo, menampilkan pertunjukan berjudul Hanacaraka. Karya ini terinspirasi dari makna filosofis aksara Jawa ha-na-ca-ra-ka, da-ta-sa-wa-la, pa-dha-ja-ya-nya, ma-ga-ba-tha-nga. Menurut Yuan, ide karya ini lahir ketika menjalani residensi selama dua minggu di rumah seniman tari Mugiyo Kasido yang juga tempat Studio Mugi Dance.

”Aksara itu memiliki makna dua pihak yang sama-sama kuat bertarung dan akhirnya keduanya mati. Ini menjadi sebuah peringatan bagi manusia. Saya membawanya dalam isu lingkungan, alam akan hancur jika manusia tidak peduli,” katanya.

Adapun penari Mugiyo Kasido menampilkan tari kontemporer Mulut-mulut Kodok. Mugiyo mengenakan semacam topeng yang menutupi mulut dan hidungnya dengan banyak klinthingan (lonceng kecil).

Ia juga mengenakan semacam ikat pinggang yang juga dipasangi banyak klinthingan, demikian juga di pergelangan kakinya. Kedua tangannya memegang dua klinthingan.

Tanpa berpindah posisi, Mugiyo menggerak-gerakkan tangan, kaki, dan kepalanya sehingga terdengar riuh suara klinthingan. Mugiyo kemudian membuang dua klinthingan yang dipegangnya.

Tari ini merupakan kritik sosial Mugiyo terhadap orang-orang banyak yang banyak bicara seperti katak bersuara, tetapi tidak ada hasil nyata. ”Seperti suara kodok yang terdengar nyaring dan indah, tetapi sekadar suara,” katanyaTampil juga dalam Asian Festival itu, penari senior asal Solo, Rusini, serta penari Marvel Gracia dan Magnus Arkan Nala. Pementasan ini juga diramaikan penampilan siswa SD Pucangan 2, Kecamatan Kartasura, dan SD Sambon 2, Kecamatan Banyudono, Boyolali.

Asian Festival yang pertama ini diselenggarakan Mugi Dance Community didukung Japan Foundation Indonesia.

Ketua Pelaksana Program Nur Aryati menuturkan, melalui pementasan seni ini, keragaman seni budaya Asia diperkenallan kepada masyarakat desa dan sekaligus merayakan keberagaman Asia.