Menurut Lulu, instrukturnya ketika itu mengatakan, wajahnya seputih kertas saat keluar dari kokpit.
Pada kesempatan lain, dia harus menghindari semburan jet pesawat pengebom Tu-16. Begitulah suka dan duka perempuan penerbang TNI AU.
Lulu menikmati masa pacarannya dengan seorang perwira RPKAD, cikal bakal Komando Pasukan Khusus, yang berdinas di Irian Barat dengan saling berkirim surat via penerbang Hercules TNI AU yang berangkat dari Halim Perdanakusuma ke Papua pergi-pulang setiap pekan.!break!
Menjadi pelopor
Apa yang mendorong mereka berdua menjadi Wara dan pilot TNI AU? Bermula pada 1963, Lulu, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran, Bandung, melihat potongan iklan surat kabar tentang penerimaan Wara angkatan pertama TNI AU yang ditempel di dinding kampus di Jalan Braga, Bandung.
Adapun Herdini, mahasiswi tingkat akhir Fakultas Geografi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mendapat informasi dari teman-teman di kelompok terbang layang di lingkungan TNI AU tentang terbukanya kesempatan menjadi Wara angkatan pertama.
"Kalau bukan angkatan pertama, belum tentu saya berminat," kenang Lulu.
"Iya kalau bukan yang pertama, saya juga tidak antusias," Herdini menimpali.
Jadilah mereka mengikuti seleksi penerimaan di Bandung dan Yogyakarta pada Februari 1963.
Singkat cerita, 30 anggota Wara mengikuti pendidikan di Kaliurang, Yogyakarta, April-Agustus 1963 atau lima bulan pendidikan dasar, lalu dilantik sebagai Letnan Dua atau Letnan Satu tergantung tingkat sarjana muda atau sarjana penuh saat mereka mendaftar.
Bagi Lulu dan Herdini, pendidikan militer ketika itu kombinasi petualangan dan kegembiraan karena kehidupan mereka berkecukupan dijamin negara yang secara perekonomian sedang susah.
Setengah dipaksa, mereka diajarkan mengemudikan Jip Gaz buatan Uni Soviet hingga suatu ketika sempat nyelonong ke sawah karena gugup.