Tas Tangan Berbahan Plastik dari Jogja Mendunia

By , Jumat, 15 April 2016 | 19:00 WIB

Bagi sebagian orang, plastik bekas mungkin hanya dianggap sampah belaka. Tetapi lain halnya dengan para pengerajin sampah yang tergabung dalam Kelompok Pengelola Sampah Mandiri (KPSM) Yogyakarta. Di tangan mereka, sampah-sampah plastik bisa ‘disulap’ menjadi berbagai barang kerajinan seperti bross, bunga hias, replika mini berbagai kendaraan, tempat pensil, kantong belanja, hingga tas tangan.

Aneka ragam barang olahan dari limbah plastik karya pengerajin KPSM tersebut berjajar rapi di stand Daerah Istimewa Yogyakarta dalam Indonesia Climate Change Education Forum & Expo 2016 di Assembly Hall Jakarta Convention Center, 14-17 April 2016.

Jika biasanya tas rajut terbuat dari benang wol, tas yang satu ini terbuat dari kantong plastik bekas. Keterampilan dan kreativitas tinggi dari para pengerajin ini membuat tas sama sekali tak tampak terbuat dari kantong plastik bekas. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

Jangan kira hasil olahan sampah mereka bakal terlihat butut. Nyatanya, berbagai kerajinan tersebut jauh dari kesan murahan. Bahkan mungkin Anda tak akan menyadari jika tas tangan buatan mereka terbuat dari bahan baku kantong plastik bekas. Ya, benar-benar kantong plastik bekas aneka warna yang biasa kita lihat teronggok di tempat sampah.

 “Tasnya unik banget. Pembuatnya juga kreatif, bisa ya dari plastik dibentuk jadi tas cantik-cantik gini,” ujar salah satu pembeli, Rizka Tamania. Ia dan seorang kawannya masing-masing membeli tas tangan kecil berwarna merah tua.

Rizka menambahkan, seandainya saja daur ulang sampah semacam ini juga dilakukan di daerah-daerah lain, pasti sampah-sampah plastik bisa lebih berkurang. “Tapi ya itu dia, butuh orang-orang yang mau berinisiatif dan menjadi penggerak,” tambahnya.

Pengunjung menjajal tas tangan dari kantong plastik bekas. Mereka mengagumi berbagai barang kerajinan olahan sampah yang dipamerkan dan dijual di stand milik pemerintah DI Yogyakarta. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

Ketua Jaringan KPSM Hariadi mengatakan, berdirinya KPSM berawal dari inisiatif warga dusun yang ingin mengolah limbah plastik menjadi lebih bermanfaat. Saat ini, KPSM sudah ada di setiap Kabupaten/Kota di Yogyakarta.

 “Kami sudah mulai menjalankan pengelolaan sampah plastik seperti ini sejak tahun 1997. Awalnya dari Shodaqoh sampah,” ungkapnya.

Hariadi menuturkan bahwa sistem shodaqoh sampah hampir serupa dengan bank sampah. Nantinya, sampah yang telah terkumpul akan dipilah dan disalurkan kepada para pengerajin sampah untuk diolah menjadi berbagai kerajinan tangan.

Tas dibuat dengan beraneka model dan warna. Meski terbuat dari kantong plastik bekas, pengerajin juga menambahkan bahan dan ornamen lain untuk mempercantik tas. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

Untuk pemasaran, Hariadi mengatakan bahwa benda-benda kerajinan biasanya dibuat berdasarkan pesanan. “Barang-barang kerajinan kami banyak diekspor ke luar negeri. Yang paling banyak itu Australia, Malaysia, Jerman dan Ghana,” tambahnya.

Sedangkan di dalam negeri, Hariadi mengakui bahwa permintaan tak terlalu besar. Pesanan paling banyak datang dari Pulau Bali. “Masyarakat kita memang masih enggan menggunakan produk-produk daur ulang seperti ini,” ujarnya.

Keuntungan penjualan produk-produk tersebut 80 persen diberikan kepada pengerajin, sementara 20 persen masuk kas KPSM. “Tapi yang 20 persen ini masih di bagi-bagi lagi, ada yang murni masuk kas, ada juga yang digunakan untuk operasional KPSM lain,” tukas Hariadi.

Selain mendatangkan manfaat ekonomi kepada masyarakat setempat, keberadaan KPSM ini juga memberikan dampak positif bagi lingkungan. “Di dusun kami sudah tidak lagi terlihat timbunan sampah, masyarakat setempat sudah sadar mengenai pengelolaan sampah,” tambahnya.

Tidak hanya tas, berbagai aksesoris berbahan plastik bekas juga dipamerkan dan dijual. Lihatlah bross-bross ini, cantik bukan? Siapa sangka, ternyata bahan bakunya adalah plastik bekas botol air mineral. (Lutfi Fauziah/National Geographic Indonesia)

Menurut Hariadi, pengelolaan limbah plastik dengan cara ini justru lebih efektif dibandingkan dengan kebijakan pemerintah terkait plastik berbayar.

“Uang dua ratus rupiah itu perginya kemana? Untuk kepentingan lingkungan atau malah justru menguntungkan supermarket-supermarket yang menerapkan kebijakan itu?” tanyanya.

Hariadi berpendapat, sebenarnya tak masalah jika kebijakan plastik berbayar itu diterapkan, asalkan uang yang dibayarkan masyarakat untuk membeli plastik tersebut digunakan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan lingkungan. “Kita lihat saja dulu hasil kebijakan itu akan seperti apa,” pungkasnya.