Pasar Ikan dan Luar Batang, Riwayat "Batavia" dengan Karakter Beragam

By , Senin, 18 April 2016 | 07:00 WIB

Awal April 2016 Jakarta mengawali rencana penggusuran kawasan pinggiran kota tua, Kampung Luar Batang, Penjaringan, Jakarta Utara. Namun ternyata bagian luar tembok kota "Batavia" lain yang tergusur minggu ini yakni kawasan Pasar Ikan. 

Bagian luar tembok kota "Batavia" atau kawasan kota tua adalah Pasar Ikan dan Kampung Luar Batang.

Dalam pandangan Ketua Badan Pelestarian IAI Nasional Aditya W Fitrianto, sebuah kota tidak akan berkembang tanpa komponen penunjang yang menghidupinya.

Begitu juga Kota Batavia di masa lalu, perkembangan yang pesat sebagai kota Bandar Utama, hub (penghubung) jalur laut timur dan barat perairan Nusantara pada abad 16 hingga 19.

Menurut Aditya, pertumbuhan kota dalam tembok (walled city) ini memberikan kesempatan perkembangan wilayah di seputarnya, termasuk sisi luar tembok kota Batavia.

"Pada masa awal, kota dalam tembok ini hanya diperuntukan bagi para pendatang dari Negeri Belanda (bangsa Eropa). Pribumi (bangsa Nusantara) dan bangsa lain (China dan Arab) tinggal di luar tembok kota," ujar Aditya kepada Kompas.com, Jumat (15/4/2016). 

Bagaimana kemudian perkembangan kota dalam tembok serta interaksinya dengan "dunia luar", Aditya menggambarkannya sebagai kawasan pemukiman berkarakter yang beragam. 

Dari pecinan di seputar selatan kota, kawasan arab di sisi barat kota, hingga kawasan pemukiman padat, tempat sebagian orang yang tidak mampu beli di tanah resmi.

Salah satunya Kampung Luar Batang, di sinilah para pekerja kasar tinggal. Kampung Luar Batang, bermakna tempat tinggal di luar batang kayu (batas luar) yang saat itu sebagai penutup muara sungai di waktu malam.

Atau juga kadang dimaknai di luar benteng kota. Berdiri diatas tanah hasil sedimentasi muara Sungai Ciliwung yang mengalir melalui Kali Besar (big cannal).

Tumbuh di atas tanah yang masih labil, membuat wilayah ini dihuni sebagian kelompok warga suku bangsa Jawa dengan harga murah, sehingga akhirnya menjadi padat.

Dalam perkembangan kawasan berkembang pesat hingga dibuatkan sebuah Mushola tahun 1739 dan akhirnya diperluas menjadi Masjid untuk kepentingan ibadah dan kegiatan sosial lain di tengah kampung ini.

Dalam Masjid ini ada makam keramat salah satu khatib yaitu Sayid Husein bin Abubakar bin Abdilah Al-Aydrus (1758). Masjid ini kemudian menjadi salah satu wisata religius Kampung Luar Batang.

Sayangnya perluasan terakhir awal dekade 2000-an, membuat wajah arsitektur masjid ini berubah seperti sekarang dan mengilangkan jejak arsitektur langgam campuran Eropa dan India.

Pasar Ikan

Kondisi yang sama juga terjadi dengan kawasan Pasar Ikan. Wilayah ini merupakan hasil proses sedimentasi muara sungai Ciliwiung yang akhirnya dimanfaatkan sebagai area pasar dan pelelangan ikan pada pertengahan abad 19 (1846).

Pasar Ikan memiliki denah unik berupa 4 bangunan berbentuk segi 6 (hexagon) dan dihubungkan dengan bentuk atap pelana memanang dengan kuda kayu yang memiliki struktur unik. Dari atas terlihat seperti benteng atau kastil dengan 4 sudut kubu pertahanannya (bastion).

!break!

Penertiban kawasan Pasar Ikan, Penjaringan, Jakarta Utara, Senin (11/4/2016). Sebanyak 898 bangunan akan ditertibkan di lahan seluas lebih dari tiga hektar ini. Kawasan ini rencananya akan direvitalisasi menjadi kawasan wisata bahari. (Agus Susanto / http://Kompas.com)

Selama masa pemerintahan Hindia Belanda, kawasan ini tetap sebagai kawasan niaga pasar dan pelelangan ikan.

Sejak pasca kemerdekaan, seputar Pasar Ikan ini mulai tumbuh juga menjadi area pemukiman tanpa hak dari beberapa pendatang dari luar. Kondisi ini membuat Pasar Ikan menjadi padat dan tidak teratur.

Kanal air di depan tembok sisi Museum Bahari yang membelah atau membatasi Pasar Ikan pun ditutup untuk kepentingan tumbuhnya kios-kios perluasan kawasan perniagaan.

Kawasan ini pun berkembang menjadi area pasar berkarakter unik karena bersifat maritim (bahari) dan semakin padat.

Perpindahan tempat pelelangan ikan ke kawasan Muara Baru, menyebabkan wilayah ini tidak seramai dulu. Akhirnya, kawasan ini pemukiman padat dan terlihat kumuh.

Kondisi ini yang kemudian mendorong Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta melakukan program penataan kawasan dengan menggusur wilayah di luar bangunan cagar budaya yakni banguan Pasar Ikan (hexagon) dan sisa Tempat Pelelangan Ikan.

Kosmetika wisata

Pemprov DKI Jakarta sebenarnya berupaya melakukan penataan kawasan ini menjadi lebih baik, sayangnya mereka melakukan dengan cara penggusuran yang ditengarai tanpa ada pendekatan persuasif terhadap warga terlebih dulu.

Beberapa sudut yang digusur memang melanggar kawasan untuk mukim. Seperti di atas bekas kanal sepanjang utara sisa tembok kota dan bantaran kanalnya. Demikian juga bagian kios-kios seputar pasar ikan di area bekas kanal depan tembok kota Museum Bahari.

Tapi penataan kawasan unik seperti Pasar Ikan, memang tidak boleh terlihat asal menggusur dan menggantinya menjadi kawasan wisata bahari misalnya.

!break!

Sebuah upaya revitalisasi kawasan cagar budaya ini jangan terjebak hanya berupa kosmetik untuk kepentingan wisata kawasan.

Perlu juga diperhatikan komponen penunjang yang menghidupi kawasan ini, dan penataan infrastruktur kota, sehingga tidak menjadi kumuh dan kotor karena banyak yang tidak berfungsi atau mampat.

Begitu juga dengan penataan kawasan Kampung Luar Batang, komponen penunjang kawasan seperti warga seputar Masjid jangan dihilangkan. Pasalnya, fungsi kegiatan sosial Masjid ini menjadi hilang, dan sekadar sebagai kosmetik wisata religius. 

Benar bila penataan infrastruktur kawasan ini perlu segera dilaksanakan, tapi harus dengan pendekatan yang lebih baik dan niat meningkatkan kualitas tempat mukim kampung ini. Misalnya dengan penyuluhan untuk diarahkan ke bentuk pemukiman hunian vertikal (low rise).

Penataan kawasan dengan pendekatan revitalisasi kota mesti lebih arif dan tidak tergesa-gesa. Karena ada banyak komponen penunjang kota yang perlu diperhatikan untuk tidak mematikan karakter kawasan tersebut.

Lebih penting lagi, upaya revitalisasi jangan sebatas kosmetik kota untuk kepentingan wisata saja. Tapi bagaimana sebuah sudut kota itu dapat tertata kembali, dengan kehidupan warga yang masih tumbuh berkelanjutan, sebagai living heritage!