Pelestarian dugong atau duyung penting bukan hanya untuk dugong itu sendiri, melainkan juga untuk kelangsungan ekosistem tempat hidupnya sekaligus kepentingan manusia.
Hal itu terungkap dalam Simposium Nasional Dugong dan Habitat Lamun 2016 yang bertema "Inisiatif Bersama untuk Pelestarian Populasi Dugong dan Habitat Lamun di Indonesia" di Bogor, Rabu (20/4/2016).
Konferensi menghadirkan berbagai pemerhati dugong dari Kementerian kelautan dan Perikanan, WWF Indonesia, Institut Pertanian Bogor, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) serta berbagai lembaga swadaya masyarakat dan riset.
Peneliti dugong dari LIPI, Wawan Kiswara, mengatakan, Eropa mengeksploitasi dugong secara besar-besaran pada tahun 1917 hingga hewan tersebut punah di perairan setempat.
Tanpa diduga, beberapa tahun kemudian terjadi wabah di ekosistem lamun, tempat dugong hidup. Tak adanya dugong membuat wabah penyakit tak terkendali hingga ekosistem padang laut punah.
"Jadi perlindungan dugong perlu agar jangan sampai hal ini terjadi di Indonesia," ujar Wawan dalam simposium yang akan berlangsung hingga Kamis (21/4/2016) esok.
Dekan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Institut Pertanian Bogor (IPB), Luky Adrianto, mengatakan, pelestarian dugong juga penting bagi manusia itu sendiri. (Baca : "Sapi Laut", Si Pendiam yang Rentan Punah)
"Ekosistem lamun atau seagrass merupakan tempat hidup beragam komoditas perikanan berharga seperti teripang, baronang, dan rajungan," ujarnya. Pelestarian dugong berarti mempertahankan keberlanjutan ekonomi dari sumber daya ekosistem lamun.
Di samping itu, dugong berpotensi wisata seperti halnya lumba-lumba dan hiu. Adanya dugong akan menarik minat penggemar wisata bahari untuk berkunjung, menggerakkan ekonomi wilayah sekitar perairan yang kaya dugong.
Dugong kadang diburu dan dijual dagingnya hingga seharga Rp 6 juta. Dengan upaya pelestarian, dugong bisa bernilai lebih besar.
Studi sebelumnya pada nilai ekonomi hiu dan pari manta mengungkap, satu hiu bisa bernilai Rp 1 miliar per tahun sementara satu manta menurut kajian Luky bisa bernilai 2 miliar US dollar per tahun.
Tantangan
Pelestarian dugong hingga kini menghadapi tantangan. Persoalan mendasar diantaranya persebaran dan jumlah populasi dugong yang belum diketahui saat ini.
"Minimnya data dan informasi sebaran populasi dugong dengan tingkat ancamannya menyebabkan otoritas pengelola sulit untuk menentukan prioritas rencana aksi konservasi," kata Wawan Ridwan, Direktur Program Coral Triangle WWF Indonesia.
Tantangan lain adalah minimnya pengetahuan masyarakat bahwa dugong merupakan mamalia laut yang dilindungi. Ini terbukti dengan banyaknya kasus dugong yang diikat, dianggap sebagai piaraan.
"Masih ada juga masyarakat di Kutawaringin Barat yang menggemari daging dugong. Kalau ada daging dugong, pestanya lebih mewah dari pesta perkawinan," kata Wawan Kiswara. Wawan Ridwan menambahkan, dugong juga kerap menjadi korban tangkapan samping. "Tapi ketika tertangkap, tak dilepaskan. Kadang dipelihara hingga 12 tahun," katanya.
Simposium tentang dugong, kata Sekretaris Jenderal Perencanaan Ruang Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Agus Dermawan akan menjawab sejumlah tantangan dalam pelestarian dugong.
"Target dua hari simposium ini, kita akan kumpulkan informasi terkini dari aspek ekologi dan ancaman dugong, buat status terkini tentang populasi dugong dan habitat lamun, serta bangun jejaring pemerhati dugong," jelasnya.
Ia menuturkan, KKP telah menyusun Rencana Aksi Nasional untuk pelestarian 20 spesies hewan laut di mana dugong adalah salah satunya.
Indonesia tahun ini dapat dana pelestarian dugong dari Mohamed bin Zayed Species Conservation Fund, United Nations Environment Programme (UNEP), Conservation of Migratory Species of Wild Animals (CMS), dan Global Environmental Facility(GEF).
"Dana yang didapatkan 829.353,2 US Dollar atau sekitar Rp 11 miliar untuk tiga tahun. Rencananya untuk program hingga akhir tahun 2018," jelas Agus.
Dengan dana itu, KKP dan pihak terkait akan memperkuat kebijakan nasional untuk konservasi dugong, meningkatkan kesadaran konservasi dugong, serta membangun upaya pelestarian berbasis komunitas.