Nurtanio Pringgoadisuryo, Perintis yang Kesepian

By , Selasa, 10 Mei 2016 | 10:30 WIB

"Sudah! Kita tidak usah ikut ribut-ribut. Kita bekerja saja” ucap Marsekal Pertama TNI Nurtanio Pringgoadisuryo memberi pengarahan kepada staf-stafnya dalam salah satu rapat rutin pada bulan-bulan awal tahun 1965. Waktu itu, suasananya hiruk-pikuk pernyataan politik dalam iklim politik yang sudah mulai panas.

Ada unsur menentang arus dalam pernyataannya. Sekalipun bagi Nurtanio tak ada pilihan lain. Ia sibuk dengan proyek Lembaga Persiapan Industri Penerbangan (LAPIP) yang didirikan dengan modal beberapa mesin tua sebelum Perang Dunia II. Sibuk dengan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (LAPAN). Ia pun disibukkan oleh tugas-tugas di Dewan Penerbangan Republik Indonesia (DEPANRI) dan Komando Pelaksana Pembangunan Industri Penerbangan (KOPELAPIP).

Ada lagi kesibukannya, dengan beban tugas beberapa kelompok kerja di Markas Besar TNI AU. Oh ya, ia juga menjadi anggota Dewan Perancang Pembangunan Nasional (DEPERNAS).

Diinginkan jadi petani

Tubuhnya tidak setinggi cita-citanya. Pendiam, tapi orang akan segera tertarik melihat penampilannya: di leher bajunya terpasang lambang korp teknik pesawat terbang tapi di dadanya ada wing penerbang. Itulah Nurtanio Pringgoadisuryo.

Ketika ia dilahirkan di Kandangan (Kalimantan) pada  3 Desember 1923, Nugroho Pringgoadisuryo yang asal Semarang mengharapkan putra ketiga dari 12 bersaudara ini bekerja di bidang pertanian. “Nur”, kata Nugroho – nama-nama putra-putranya diawali dengan “Nur” – “Tanio” (Bahasa Jawa: bertanilah). Jadilah nama putranya Nurtanio. Namun minat anak ini berkembang kearah lain. Tidak ada perhatiannya ke pertanian.

Setelah menyelesaikan Europeesch Lagere School (ELS) di Semarang, Nurtanio diarahkan ke MULO. Lepas MULO diusahakan memasuki pendidikan MOSVIA untuk menjadi pamongpraja. Diterima! Namun Nurtanio menolak karena tidak sesuai harapannya. Ia melanjutkan ke AMS. Di sini pula mulai kelihatan minatnya yang lebih cenderung ke seluk-beluk teknik, seperti juga ayahnya yang pejabat Dinas Pekerjaan Umum. Lebih khusus lagi, ia tertarik ke teknik penerbangan.

Keluarga Nugroho rupanya sudah menanamkan minat baca sejak dini dan menyediakan beragam bacaan untuk anak-anaknya. Tertarik pada bidang penerbangan, Nurtanio remaja yang bertubuh kurus dan sakit-sakitan sering menenggelamkan diri di tengah kesibukannya membuat pesawat-pesawat model di kamarnya. Tidak jarang ia harus dibujuk-bujuk dahulu jika waktu makan tiba.

Seluruh waktu liburnya dihabiskannya untuk merancang dan membuat pesawat model. Pada waktu itu pula, Nurtanio sudah berkorespondensi dengan Wiweko Supono, seorang mahasiswa THS (ITB sekarang) yang punya minat dan kegemaran serupa. Seperti juga Wiweko di Bandung, guru mereka adalah buku-buku.!break!

Cuma mendorong pesawat

Dalam masa pendudukan Jepang, Nurtanio mendengar Jepang membuka sekolah untuk pemuda-pemuda Indonesia di didik di bidang penerbangan. Ia segera berangkat ke Surabaya dan mendaftarkan diri. Namun setelah beberapa bulan, ia dan kawan-kawannya merasa tertipu.

“Kami cuma disuruh mendorong dan membersihkan pesawat terbang. Tidak lebih dari itu”, katanya.

Nurtanio pun meninggalkan “sekolah itu” dan melarikan diri dari asrama. Beberapa lama ia harus menyembunyikan diri di rumah orangtuanya di Semarang. Kemudian agar lebih aman, ia pindah ke rumah salah seorang keluarganya di Yogyakarta.