Nurtanio Pringgoadisuryo, Perintis yang Kesepian

By , Selasa, 10 Mei 2016 | 10:30 WIB

Setelah Proklamasi Kemerdekaan, Nurtanio bergabung ke Bagian Rencana dan Konstruksi Kementerian Pertahanan, yang lantas dilantik menjadi anggota TKR bagian penerbangan – kemudian menjadi TNI AU dengan pangkat Opsir Muda Udara II. Di bagian Rencana dan Konstruksi itu pula ia  bertemu dengan Wiweko, yang meninggalkan Bandung setelah ditugaskan mencari S. Suryadarma ke Sukabumi.

Tahun 1946, Bagian Rencana dan Konstruksi dipindahkan ke Pangkalan Udara Maospati (Lanud Iswahyudi sekarang). Di sanalah Nurtanio dan Wiweko mencurahkan pikiran, tenaga, dan angan-angan untuk membangun penerbangan nasional.

Bersama pemuda-pemuda yang pernah bekerja di bengkel ML di Andir (Lanud Husein Sastranegara sekarang), bertempat di bekas gudang kapuk di Magetan, dibangunlah bengkel pembuatan pesawat. Dalam keadaan blokade Belanda waktu itu, mereka hanya mampu membuat pesawat layang jenis Zoglin. Pesawat layang ini terbuat dari kayu yang mereka tebang sendiri di hutan, kain belacu untuk sayap, dan tidak jarang terpaksa mengambil kawat jemuran orang.

Betapa pun sederhanya, pesawat layang yang dikenal dengan sebutan NWG (Nurtanio-Wiweko-Glider) itulah yang digunakan untuk menyebarkan minat dirgantara di tengah-tengah pemuda Indonesia di ibukota RI Yogyakarta. Bahkan pesawat sederhana itu pula yang digunakan untuk seleksi calon-calon kadet penerbang TNI AU sebelum diberangkatkan belajar ke luar negeri (India).

Keberhasilan tersebut mendorong Kepala Staf TNI AD pada tahun 1946 mengusulkan pembentukan Komisi Penerbangan dengan tujuan menetapkan kemauan politik mengembangkan penerbangan sipil. Selain itu, ia juga mendorong Kepala Staf TNI AU untuk merencanakan pendirian “perusahaan pesawat terbang nasional”.

Sebagai upaya untuk mencapai cita-cita itu, Nurtanio ditugaskan belajar di Filipina (FEATI – Far Eastern Aero Technical Institute). Dengan menerobos blokade Belanda, ia diterbangkan ke Manila dan dari FEATI ia mendapat gelar Bachelor in Aeronautical Science. Setelah ia gugur, almamaternya menganugerahkan gelar Doktor Honoris Causa, yang diterima oleh istrinya di Manila.!break!

Semangat tetap menyala

Kesulitan bahan dan peralatan karena blokade Belanda yang ketat tidak memadamkan semangat Wiweko dan kawan-kawannya di gudang kapuk. Mereka tetap pada cita-cita merancang dan membuat sendiri pesawat terbang, mereka gunakan mesin sepeda motor Harley Davidson.

Dibuatlah pesawat jenis olahraga WEL (Wiweko-Experimental-Light)-1 yang juga dikenal sebagai RI-X. Semua komponennya, sampai pada mur, buatan sendiri. Ketika diuji-coba, RI-X ini sempat terbang, walaupun hanya sampai ketinggian 3 meter. Sayang karena kesalahpahaman dalam pengangkutan, pesawat itu dirusak tangan-tangan jahil.

Untuk mewujudkan rencana pembangunan industri penerbangan nasional dan maskapai penerbangan, sebagaimana dicita-citakan semula, Opsir Udara II Wiweko dalam revolusi fisik itu juga dikirim belajar ke luar negeri (Amerika Serikat). Namun karena waktu itu Yogyakarta diserang Belanda, Wiweko “tersangkut” di Burma (Myanmar sekarang) dan mendirikan Indonesia Airways.

Setelah pengakuan kedaulatan oleh Belanda dan Belanda menyerahkan pangkalan udara Andir kepada TNI AU, TNI AU menunjuk Wiweko untuk memimpin Depot Perawatan Teknik di Andir. Tidak lama setelah itu, pimpinan Depot diserahterimakan dari Komodor Muda Udara (Kol) Wiweko kepada Mayor Udara Nurtanio, yang telah kembali dari Filipina.

Nurtanio mengumpulkan kembali kawan-kawannya dari gudang kapuk Magetan dan mendirikan Seksi Percobaan. Dengan semangat perjuangan 1945, dengan mesin-mesin tua pembelian Belanda sebelum Perang Dunia II, dan apa yang ada di gudang yang ditinggalkan Belanda, mereka merancang dan membuat pesawat anti-gerilya Sikumbang. Pesawat all metal pertama dan pesawat tempur pertama buatan Bangsa Indonesia ini berhasil diterbangkan pada 1 Agustus 1954. Kepercayaan diri yang ditimbulkan oleh Sikumbang pun mendorong lahirnya pesawat-pesawat lain : Kunang-kunang dan Belalang.