Menapaki Jejak Kerukunan Umat Beragama di Belitung

By , Rabu, 18 Mei 2016 | 07:00 WIB

Empat tiang yang menjadi penopang utama bangunan ini terbuat dari kayu Teruntum, kayu yang hanya tumbuh di daerah hutan bakau. Kayu ini dibawa dengan rakit selama berbulan-bulan dari hutan Mengguru yang sekarang berlokasi di Desa Sungai Padang.

Masjid Sijuk memiliki arsitektur yang mencirikan bangunan khas daerah Belitung. Pada awal pembangunannya, Masjid Sijuk beratapkan sirap (belahan tipis kayu Ulin) yang didatangkan dari Kalimantan yang kemudian berganti seng dan genteng. Setelah renovasi, Masjid Sijuk memiliki 2 ruangan yaitu ruang dalam yang merupakan bagian dari bangunan lama dengan peruntukan utama bagi jemaah menunaikan Sholat dan ruangan lainnya adalah serambi berbentuk semi outdoor yang menjadi arena berkumpul jemaah dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Masjid ini.

Menurut keterangan yang dipasang di serambi Masjid, pada sekitar tahun 1980 rumah ibadah ini sempat ditinggalkan oleh jemaah nya lantaran ada Masjid baru yang lebih besar dibangun tak jauh dari lokasi masjid ini. Namun pada 1999 masyarakat Dusun Ulu yang ada disekitar masjid  bahu membahu memperbaiki bangunan ini dan mengembalikan fungsinya seperti sedia kala. Sejak tahun 2000 masjid ini kebali digunakan sebagai rumah ibadah, dan sejak itu pula berbagai bantuan datang untuk memperbaiki sekaligus mempertahankan masjid yang mampu menampung 100 jemaah ini.

Berdirinya Kelenteng dan Masjid Sijuk seolah memberikan gambaran mengenai harmoni yang telah tumbuh di tanah Belitung sejak ratusan tahun lalu. Melayu dan Tionghoa hidup berdampingan dalam kehidupan sehari-hari maupun saat menjalankan kepercayaan masing-masing.