Dua bangunan rumah ibadah itu menjadi ikon kerukunan umat beragama yang ada di Belitung sejak ratusan tahun lalu. Kelenteng dan Masjid Sijuk berdiri berdampingan melayani umat mendekatkan diri pada sang penciptanya.
Sebuah plang putih bertuliskan “Kelenteng Sijuk” menjadi penanda bangunan rumah ibadah itu telah ditetapkan sebagai cagar budaya oleh pemerintah setempat. Rumah ibadah ini memang bukan Kelenteng biasa, bangunan yang didirikan pada tahun 1815 itu digadang sebagai Kelenteng tertua di wilayah Belitung. Kelenteng yang berdiri di Desa Sijuk, Kecamatan Sijuk ini juga dikenal sebagai Kelenteng Hok Tek Che.
Ornamen merah dan deretan lampion masih terpasang di area Kelenteng, menyisakan cerita perayaan Tahun Baru Imlek dan Cap Go Meh yang meriah beberapa waktu lalu. Lapangan yang cukup besar tersedia didepan bangunan utama Kelenteng Sijuk, menjadi area berkumpul umat saat diselenggarakan acara besar.
Meski digadang sebagai Kelenteng Tertua di Belitung, sekilas tak terlihat ornamen masa lalu pada bangunan utama Kelenteng. Renovasi seperti menghapus sebagian besar cerita masa lalu dari rumah ibadah ini. Tahun 2015 lalu, Kelenteng Sijuk mendapatkan bantuan untuk mengganti atap bangunan yang telah lapuk menjadi atap rangka baja yang lebih kokoh. Hanya papan nama berukir saja yang menjadi saksi sejarah perjalanan Kelenteng ini.
Bangunan Kelenteng Sijuk Sendiri tak begitu besar dengan cat berwarna merah menyala, warna simbol bagi kemakmuran dan segala hal yang baik pada kepercayaan masyarakat Tionghoa. Tak lupa ornamen naga pun terlihat pada bangunan utama Kelenteng ini. Altar dewa-dewa kepercayaan umat Kong Hu Chu disimpan didalam Kelenteng. Terdapat pula beberapa bangunan pendukung disekitarnya. Dua buah tungku berbentuk pagoda berdiri di kanan-dan kiri Kelenteng, umat yang beribadah kana membakar kertas sembahyang melalui tungku setinggi lebih dari 2 meter ini. Beberapa altar dewa juga tersebar di sekitar bangunan utama, seperti altar Dewa Langit. Sebuah bangunan pendukung, tempat penjaga Kelenteng tinggal dibangun tepat disamping bangunan utama. Meski bangunan-bangunan yang ada memiliki luas yang tak begitu besar, namun lahan Kelenteng Sijuk cukup luas. Sebagian besar lahan masih merupakan kebun dan pepohonan rindang yang memberikan kesan teduh dan damai.
Bagian paling baru dari Klenteng Sijuk adalah patung Dewi Kwan Im yang berdiri megah menyambut umat yang hendak beribadah maupun wisatawan yang mencari jejak sejarah Kelenteng Sijuk. Patung Dewi Kwan Im berukuran 4 meter dan berbobot sekitar 1 ton ini ini dibuat dan didatangkan langsung dari Tiongkok. Sebanyak 9 Bikhsu hadir untuk meresmikan sekaligus terlibat pada berbagai prosesi keagamaan terkait dengan peresmian patung Dewi Kwan Im yang diselenggarakan September 2015 lalu.!break!
Tak jauh dari Kelenteng Sijuk, berdiri rumah ibadah lainnya yaitu Masjid Al Ikhlas atau yang terkenal dengan Masjid Sijuk. Pembangunan Masjid Sijuk hanya berselang 2 tahun dari Kelenteng Sijuk yaitu pada tahun 1817.
Dahulu terdapat 4 bangunan masjid yang memiliki bentuk sama masing masing tersebar di di Kecamatan Membaling, Kecamatan Kela Kampit, Kecamatan Badau dan Kecamatan Sijuk, namun ini yang tersisa hanyalah Masjid Sijuk atau Masjid Sijok sedangkan 3 lainnya telah tiada.
Menurut cerita yang disampaikan secara turun temurun, Masjid Sijuk/ Sijok ini didirikan oleh seseorang bernama Tuk Dong. Tak ada yang mengetahui pasti siapa ia, ada yang mengatakan bahwa ia adalah penyebar Islam yang berasal dari Kalimantan namun ada pula yang mengatakan bahwa ia adalah dua bersaudara yang berasal dari Tiongkok. Mereka satu sama lain saling membantu membangun tempat ibadah yaitu Kelenteng Sijuk dan Masjid Sijuk, oleh karena itu tak aneh jika dua rumah ibadah ini memiliki lokasi yang hanya terpisah sekitar 300 meter dan pembangunannya hanya berselang 2 tahun.
Masjid Sijuk adalah bangunan berdinding kayu ganda. Terdapat dua lapis kayu yang membentuk dindingnya. Sama seperti Kelenteng Sijuk, Masjid Sijuk pun telah mengalami sentuhan renovasi. Dinding kayu bagian luar maupun dalam telah diganti, pun penambahan serambi masjid yang menimpa bentuk bangunan asli namun meski begitu masih terlihat samar bentuk bangunan lama dari masjid dengan atap berundak ini.
Selain lantai yang berganti dari tegel menjadi keramik, masih terasa keaslian dibagian dalam bangunan. Sebanyak 4 tiang utama atau soko guru tetap di pertahankan juga bagian mihrab. Uniknya ada bagian tiang yang menyerupai tangga, bentuk ini membuat banyak orang bertanya mengenai kegunaannya mengingat bangunan ini hanya terdiri dari satu lantai.
“Dahulu diatas sana tempat untuk menaruh barang termasuk menaruh Al Quran. Jadi naiknya dari sini,” ungkap Tabrani Abdul Majid jemaat Masjid Al Ikhlas yang juga kepala dusun Ulu.
Empat tiang yang menjadi penopang utama bangunan ini terbuat dari kayu Teruntum, kayu yang hanya tumbuh di daerah hutan bakau. Kayu ini dibawa dengan rakit selama berbulan-bulan dari hutan Mengguru yang sekarang berlokasi di Desa Sungai Padang.
Masjid Sijuk memiliki arsitektur yang mencirikan bangunan khas daerah Belitung. Pada awal pembangunannya, Masjid Sijuk beratapkan sirap (belahan tipis kayu Ulin) yang didatangkan dari Kalimantan yang kemudian berganti seng dan genteng. Setelah renovasi, Masjid Sijuk memiliki 2 ruangan yaitu ruang dalam yang merupakan bagian dari bangunan lama dengan peruntukan utama bagi jemaah menunaikan Sholat dan ruangan lainnya adalah serambi berbentuk semi outdoor yang menjadi arena berkumpul jemaah dan kegiatan-kegiatan yang dilakukan di Masjid ini.
Menurut keterangan yang dipasang di serambi Masjid, pada sekitar tahun 1980 rumah ibadah ini sempat ditinggalkan oleh jemaah nya lantaran ada Masjid baru yang lebih besar dibangun tak jauh dari lokasi masjid ini. Namun pada 1999 masyarakat Dusun Ulu yang ada disekitar masjid bahu membahu memperbaiki bangunan ini dan mengembalikan fungsinya seperti sedia kala. Sejak tahun 2000 masjid ini kebali digunakan sebagai rumah ibadah, dan sejak itu pula berbagai bantuan datang untuk memperbaiki sekaligus mempertahankan masjid yang mampu menampung 100 jemaah ini.
Berdirinya Kelenteng dan Masjid Sijuk seolah memberikan gambaran mengenai harmoni yang telah tumbuh di tanah Belitung sejak ratusan tahun lalu. Melayu dan Tionghoa hidup berdampingan dalam kehidupan sehari-hari maupun saat menjalankan kepercayaan masing-masing.