Mengapa Melewati Pintu Bisa Membuat Orang Lupa?

By , Senin, 16 Mei 2016 | 10:00 WIB

Lupa alasan mengapa Anda memasuki ruangan disebut sebagai “doorway effect”, dan ini mungkin bisa mengungkap banyak tentang kekuatan ingatan manusia, dan juga kelemahannya, kata psikolog Tom Stanfford.

Kita semua pernah mengalaminya. Naik ke lantai atas untuk mengambil kunci, tetapi tiba-tiba lupa apa yang ingin Anda cari begitu masuk ke kamar tidur.

Buka pintu kulkas, dan menggapai rak tengah, lalu menyadari kita tidak ingat untuk apa awalnya kita membuka pintu lemari es.

Atau katakanlah Anda sedang menunggu menginterupsi teman untuk bertanya hal penting, tapi begitu Anda berhasil menyela Anda malah lupa, “apa sih yang tadi ingin saya katakan?”

Kita bertanya pada audiens yang juga terheran-heran, “Lho, mana kami tahu?”

Kejadian semacam itu cukup memalukan, tapi adalah hal yang umum. Disebut “doorway effect”, fenomena tersebut mengungkap fitur penting tentang bagaimana pikiran kita tersusun.

Memahami fenomena ini mungkin membantu kita menghargai momen singkat itu sebagai lebih dari sekadar hal menjengkelkan (walau tentu tetap saja menjengkelkan).

Fitur-fitur yang ada di pikiran kita mungkin bisa digambarkan dengan baik melalui cerita tentang seorang perempuan yang bertemu dengan tiga tukang bangunan pada jam istirahat makan siang.

“Apa yang Anda lakukan hari ini?,” kata perempuan itu pada tukang nomor satu. “Saya menyusun batu bata di atas bata yang lain,” ujar tukang pertama.

“Apa yang Anda lakukan hari ini?” tanyanya pada tukang nomor dua. “Saya membangun tembok,” jawabnya singkat.

Tetapi tukang ketiga merasa bangga ketika ditanya dan dia menjawab, “Saya membangun katedral!”

!break!

Mungkin Anda mendengar cerita ini sebagai kisah motivasi untuk melihat gambaran besar, tetapi bagi psikolog, pesan moral yang paling penting adalah tiap aksi harus dipikirkan dalam beberapa level agar menjadi sukses.

Tukang nomor tiga mungkin memiliki pandangan yang paling inspiratif tentang pekerjaan mereka, tetapi tidak ada seorang pun yang bisa membangun katedral tanpa mengerti bagaimana meletakkan bata di atas bata yang lain dengan sukses seperti tukang pertama.

Selagi kita beraktivitas, perhatian kita beralih dari satu level ke level lainnya – dari cita-cita dan ambisi ke perencanaan dan strategi, hingga ke level paling bawah yaitu aksi konkret.