LIPI Temukan Tikus Baru Kala Ekspedisi di Sulawesi

By , Rabu, 18 Mei 2016 | 20:00 WIB

Bersama rombongan ekspedisi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), saya berjalan selama tiga jam lebih di Gunung Gandang Dewata, Mamasa, Sulawesi Barat, Kamis, (26/4/16). Melewati jalur pendakian. Tanah merah lengket. Pematang sawah berlumpur. Perkebunan kopi tak terurus. Tampak aliran air kecil dan sebuah sungai besar berarus deras.

Hujan gerimis menyertai makan siang kami di sebuah titik, sebelum track panjang menanjak dimulai. Hawa dingin menyeruak ke sela jaket. Suara serangga penggerek tak henti-henti. Kami menuju base camp tim ekspedisi Bioresourches Keragamanhayati, LIPI. Rombongan kami tim kedua, tim pertama lebih awal sepekan lalu beranggotakan 20-an peneliti.

Base camp itu pada ketinggian 1.626 mdpl. Dikelilingi pohon dengan batang berlumut. Paku-pakuan. Anggrek liar menggantung. Kami tiba menjelang sore. Kordinator lapangan ekspedisi, Anang Setiawan Achmadi menyambut kami.

Keesokan hari, saya melihat ruang kerja para peneliti. Menggunakan tenda terpal, dua meja kayu panjang tersusun dari tangkai-tangkai pohon, terikat tali rapia.

Beberapa spesimen nangkring di meja. Cairan alkohol. Formalin. Kapur barus. Jarum suntik. Gunting. Pengait. Kain kasa. Koran bekas untuk membungkus. Ada pula benang dan jarum. “He…he…he…he…, iya inilah. Beginilah keadaannya,” kata Anang.

Menjelang siang, seorang penduduk dalam ekspedisi itu membawa tiga tikus jeratan. Anang memperhatikan satu demi satu. Satu lebih kecil, menarik perhatian. Dia mengelus tikus itu lembut.

“Saya belum pernah liat tikus ini,” katanya. “Ini ketiga kali saya datang. Jelas berbeda dari tikus lain.”!break!

Anang mengangkat tikus itu sejajar dengan hidung. Merapatkan kacamata ke pangkal hidung. Dia terkesima dengan temuan ini. “Moncong beda. Depan hidung tak ada bulu, hanya ada kumis.”

“Lucu ya. Kepala juga. Ini lihat garis warna juga bagus. Mirip anjing.”

Nama tikus itu dalam bahasa Mamasa adalah kambola. wilayah jelajah tikus ini cukup jauh, bisa 40 kilometer. Padahal dalam literatur, wilayah jelajah tikus paling jauh dua kilometer.

Timothius Sambominanga (80), akrab disapa Papa Daud mengatakan, masa lalu seorang menangkap kambola, memberi gelang di leher dan melepaskan di Mamasa. Beberapa waktu kemudian tikus bertanda itu ditemukan  di Mambi, sekitar 40 kilometer. “Maka namanya kambola. Artinya bisa pergi jauh,” kata Daud.

Dengan pelan dan sangat hati-hati Anang menguliti tikus lalu menempelkan beberapa jari di sekam gergaji. Sebagian ditaburi ke kulit tikus. Setelah kulit dan organ tubuh terpisah, dia memasukkan kapas ke kulit. Membentuk tikus semirip masa hidup. Dua kawat kecil ditopangkan ke otot kaki. Setelah selesai, dia menjahit bagian kulit perut.

Tubuh tikus tanpa kulit, berpindah ke tangan Juno, anak muda peneliti parasit. Menggunakan pisau kecil tajam, dia membuka perut, memperhatikan usus, lambung, jatung, hingga hati. Dengan teliti dia menggunting bagian hati dan memasukkan ke botol kecil spesimen yang sudah tercampur alkohol.