Tanah Kawitan bagi Pengelana

By , Senin, 23 Mei 2016 | 17:30 WIB

Hardikan itu menyentak saat siang bolong. Air muka ibu bercaping lebar itu mengguratkan kemarahan.

“Tadi motret saya ya?” ia bertanya, ketus.

“Saya memotret pantai….” Tenggorokan terasa sesak, belum usai bicara, dia telah memenggal penjelasan saya.

“Itu tidak etis, seharusnya minta izin dulu. Saya tidak suka. Saya sudah 34 tahun di sini. Tanya orang-orang di sini, semua kenal saya.”

Sembari berjalan cepat di bawah sengatan Matahari, dia tak henti menghamburkan rasa kesal. Beberapa foto saya hapus untuk meredam amarahnya. Dia sempat melirik ke arah layar kamera. Gelap, cahaya matahari mengalahkan tampilan di layar. “Kalau tidak dihapus, nggak slamet sampeyan.”

Masih memendam mengkal hati, dia kabur dengan sepeda motor yang suaranya merobek keheningan hutan pantai. Kawanan monyet panik berlarian ke puncak pohon.

Ucapan bagaikan doa. Kalimat terakhir perempuan paruh baya ini membuat saya grogi. Saya telah mengenal keangkeran Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur, belasan tahun silam.

Peristiwa di Pantai Triangulasi itu adalah pengalaman aneh kedua. Saya pertama kali menjejakkan kaki di wilayah ujung timur Jawa itu pada medio 1994. Seorang pria kurus, gondrong, dan berjambang lebat menghampiri saya. Rada canggung, dia meminta sebilah parang saya.

“Saya dapat wangsit dari…,” tuturnya sambil menunjuk langit. Pria yang irit bicara ini menganggap wangsitnya mewujud pada parang buatan Ciamis, Jawa Barat.

Staf Taman Nasional Alas Purwo, Vera Trisnawati, mengingatkan saya ihwal keberadaan para lelono, pengelana spiritual. “Jangan kaget kalau ketemu para lelono,” ujarnya.

Para pengembara kebatinan memang menjalani laku hidup di tengah belantara. Ada yang berhasil, ada yang gagal. Yang tak mampu menuntaskan laku spiritual, tak jarang bertingkah aneh-aneh.

Alas Purwo dikenal sebagai daerah liar berselimut magi. Ungkapan Jawa jalma mara, jalma mati—manusia datang tak bakal kembali pulang—menyiratkan wingitnya Blambangan ini. Istilah purwo dalam bahasa Jawa berarti kawitan atau permulaan. Alas Purwo dipandang sebagai situs penciptaan pertama di bumi: tanah awal mula.

Citra spiritual terpancar dari sejumlah situs religius: Pura Giri Salaka dan sejumlah patirtan atau sumber air sakral. Di Pancur misalnya, terdapat tiga aliran air yang menembus batuan cadas. Selain berkhasiat membuat awet muda, Pancur menjadi sumber air bagi upacara Pagerwesi. Air suci menjadi salah satu syarat ritual umat Hindu yang diambil dari Pancur, Kucur, dan Laut.