Merawat Harimau Nahas

By , Selasa, 21 Juni 2016 | 14:00 WIB

Kondisi fisik Ara kini jauh lebih sehat, meski kini seumur hidupnya harus berjalan dengan tiga kaki. Kaki kiri depan Ara tak mampu lagi menopang badan karena kehilangan jari akibat terkena jerat warga di Riau.

Nasib serupa juga dialami Salamah, bahkan kondisinya jauh lebih tragis, kaki depan kanannya buntung, lagi-lagi akibat terjebak jerat warga di Aceh.

Lain cerita dialami Bimo, ia harus diterbangkan ribuan kilometer dari Pekanbaru menuju Jakarta dalam kondisi sekarat akibat diracun warga karena masuk di areal perkebunan sawit.

"Saya terpaksa minta izin kasih infus Bimo di bandara. Kalau nggak dia mati. Kondisinya sekarat sudah tidak bisa ngapa-ngapain lagi karena diracun," ujar Bongot Huaso Mulia, dokter hewan Taman Safari Indonesia (TSI) I, Cisarua, Bogor, saat ditemui Jumat (17/6/2016).

Yang terakhir adalah Giring. Delapan hari lalu terpaksa harus direhabilitasi di TSI setelah masuk dalam perangkap Balai Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA) Provinsi Bengkulu, akibat memangsa seorang petani karet di Kabupaten Seluma, Bengkulu, April 2015 lalu.

Sekujur tubuhnya penuh luka akibat terkurung di dalam sebuah kandang berukuran 3 x 1,5 meter di sudut kantor BKSDA Provinsi Bengkulu selama berbulan-bulan. Kondisi ini karena tidak adanya fasilitas rehabilitasi harimau Sumatra milik pemerintah khususnya di Bengkulu.

Sebelum akhirnya dibawa ke pusat penangkaran dan rehabilitasi Taman Safari Indonesia, Giring sempat dititipkan di Pusat Latihan Gajah (PLG), Seblat, Kabupaten Bengkulu Utara.

Ara, Salamah, Bimo, dan Giring adalah empat dari delapan harimau Sumatra (Panthera tigris sumatrae) di Pusat Penangkaran dan Rehabilitasi Harimau Sumatra di TSI I. Harimau-harimau Sumatra malang ini ditangkap akibat konflik dengan manusia.

Tak kurang delapan orang pawang dan tiga dokter hewan merawat harimau-harimau tersebut untuk memastikan kondisinya sehat. Bahkan terakhir di pusat penangkaran dan rehabilitasi ini berhasil mengawinkan Dara, harimau betina buntung hingga melahirkan tiga ekor anak.

"Seperti manusia aja pak, kalau di alam liar mungkin Dara tidak bisa bertahan hidup dan kalah bersaing dengan harimau lain karena kakinya buntung. Di sini kita rawat bahkan berhasil mengawinkan sampai punya anak," ujar Ipen, yang sudah 19 tahun terakhir merawat harimau Sumatra di TSI I.

Untuk merawat dan merehabilitasi harimau-harimau ini bukanlah perkara mudah. Dibutuhkan biaya tinggi untuk perawatan, kebutuhan tenaga ahli seperti dokter, hingga ketersediaan sumber daya manusia. Sedikitnya dibutuhkan empat hingga enam kilogram daging sekali makan tiap harimau. Tak tanggung-tanggung, daging kanguru sengaja didatangkan dari Australia untuk pakan harimau selain daging sapi, kuda, kambing, dan ayam.

"Kendala paling utama biaya perawatan, kedua baru expertise dan SDM. Apalagi kalau harimau itu man eater. Tidak mungkin dilepasliarkan lagi. Saya berani taruhan kalau dilepasliarkan pasti kembali memangsa manusia," tegas Tony Sumampau, Direktur Taman Safari Indonesia.

Pusat penangkaran dan rehabilitasi harimau Sumatra di Taman Safari adalah yang terbesar di dunia. Penangkaran tersebut tak bertujuan komersial, tetapi untuk pemurnian genetik. Harapannya, harimau jantan seperti Giring menjadi founder agar keragaman genetik harimau Sumatra ditingkatkan.