Ikhtiar Menyelamatkan Sungai Indonesia

By , Jumat, 1 Juli 2016 | 09:00 WIB

“Makin modern, makin cerdas, manusia justru mencampakkan Citarum di titik nadir. Beban yang tiada terperi itu membuat daya dukung Citarum makin berantakan. Dalam dua dekade belakangan, aliran terpanjang di Jawa Barat ini ditetapkan sebagai salah satu daerah aliran sungai super-prioritas di Indonesia.  Upaya penyelamatan digelar di kawasan-kawasan konservasi di wilayah hulu.”

Paragraf di atas saya kutip dari tulisan Agus Prijono yang berjudul Mengurai Bahara Citarum. Dalam tulisannya tersebut, Agus memaparkan kondisi Sungai Citarum yang tercemar berat. Dalam dua dekade belakangan, Citarum ditetapkan sebagai salah satu daerah aliran sungai prioritas di Indonesia.

Pencemaran sungai di Indonesia saat ini telah berada di ambang kritis. Berdasarkan laporan yang dikeluarkan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), di tahun 2015 sebanyak 67,94 persen atau mayoritas air sungai di Indonesia dalam status tercemar berat.

Hal ini sangat mengkhawatirkan, mengingat sungai hingga saat ini merupakan sumber utama air bersih yang digunakan untuk kebutuhan sehari-hari oleh mayoritas penduduk di Indonesia. Sumber air yang kualitasnya buruk akan mengancam kondisi kesehatan masyarakat maupun makhluk hidup lain yang mengkonsumsi air tersebut.

Dirjen Pengendalian Pencemaran dan Kerusakan Lingkungan KLHK, M.R. Karliansyah atau Karli dalam diskusi interaktif Pekan Lingkungan Hidup 2016 di Jakarta Convention Center, awal Juni lalu mengungkapkan, “Dari sekian banyak sungai yang ada di Indonesia, hanya sekitar 2 persen yang memenuhi baku mutu air.”

Selain itu, hasil perhitungan Daya Tampung Beban Pencemaran (DTBP) di beberapa sungai di Indonesia umumnya menunjukkan bahwa beban pencemar  yang masuk setiap harinya sudah jauh melebihi daya tampung sungai. Kelebihan beban pencemaran inilah yang berdampak besar terhadap mutu air sungai.

Berdasarkan hasil identifikasi yang dilakukan KLHK, sumber utama pencemar air sungai di Indonesia sebagian besar berasal dari limbah domestik atau rumah tangga. Limbah domestik itu di antaranya tinja, bekas air cucian dapur dan kamar mandi, termasuk sampah rumah tangga yang dibuang ke sungai. Selain itu, penyebab pencemaran air sungai adalah limbah peternakan, industri dan pertanian.

Untuk mengatasi pencemaran air sungai yang berasal dari limbah domestik, perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian pencemaran. Langkah-langkah itu antara lain membangun instalasi pengolahan air limbah rumah tangga (IPAL), serta mengedukasi masyarakat agar tak lagi membuang sampah ke sungai.!break!

Koordinasi Pemerintah Pusat dan Daerah belum maksimal

Selama ini permasalahan dalam pengelolaan sungai berakar dari kurangnya koordinasi dan sinergitas antara pemerintah pusat dan daerah.

Di Indonesia, pengelolaan sungai lintas provinsi, lintas negara dan prioritas nasional merupakan wewenang Pemerintah Pusat. Sementara sungai lintas kabupaten/kota berada dalam wewenang Pemerintah Provinsi dan sungai di dalam Kabupaten/Kota pengelolaannya berada dalam wewenang Pemerintah Kabupaten/Kota.

Pembagian pengelolaan seperti ini kerap kali menyulitkan pemerintah di jajaran bawah seperti Pemkab/Pemkot, sebab banyak sungai ‘milik’ Pemerintah Pusat atau Pemerintah Provinsi  yang melalui kabupaten/kota.

Alat berat mengangkat gunungan sampah dari anak sungai CItarum di Bojong Citepus, Dayeuhkolot, Kabupaten Bandung, Kamis (2/6/2016). Untuk mengatasi permasalahan sampah yang sudah sangat mendesak di Citarum, Pemerintah Provinsi Jawa Barat menggalakkan kegiatan Beberesih Citarum. Sungai sepanjang 297 kilometer ini merupakan salah satu sungai dengan kondisi tercemar berat di Indonesia. Limbah domestik, industri, sampah plastik, peternakan, dan pertanian menjadi faktor utama rusaknya kelestarian sungai ini. (Yunaidi/National Geographic Indonesia)

Adanya keterbatasan wewenang membuat Pemkab/Pemkot menjadi serba salah. Walikota Makassar, Moh. Ramdan Pomanto menuturkan, di Kota Makassar, ada kanal sepanjang 24 Km di tengah kota yang bukan menjadi wewenang Pemkot. “Kalau kanal itu kotor, masyarakat nggak mau tahu itu jadi tanggung jawabnya siapa, kalau sampai tersumbat, yang ‘dihajar’ ya Pemkot,” ujar Ramdhan.

Ramdhan menuturkan karena tidak sabar menunggu Pemprov bergerak, Ia akhirnya membeli dua alat ekskavator amfibi untuk mengeruk dan membersihkan sungai yang seharusnya bukan menjadi tanggung jawabnya. “Tapi rupanya dia malah keenakan, justru  semakin tambah nggak pernah dikeruk lagi, ” katanya.  

Kini, kondisi kanal tersebut mulai membaik berkat kerjasama antara Pemkot dan masyarakat setempat. Dengan ini, Ramdhan berharap upayanya bersama masyarakat dapat ‘menyentil’ pemerintah jajaran atas. “Kalau melihat kesungguhan Pemkot yang seperti itu, tersinggunglah sedikit,” ujarnya.

Hal serupa juga kerap dialami oleh Walikota Surabaya Tri Rismaharini. Menurut penuturannya, karena semua sungai milik Pemkot sudah bersih, saat ini Ia hampir setiap hari mengeruk sungai milik Pemerintah Pusat dan Provinsi.  “Saya ini orangnya malas ribut, ya udah langsung saya keruk aja,” tukasnya.

Satu upaya yang dilakukan Risma untuk mengendalikan pencemaran sungai di Surabaya yaitu dengan membersihkan kawasan sempadan sungai dan menjadikannya taman, serta membuat saluran limbah yang terpisah dengan sistem drainase. “Air limbah itu akan disaring dulu sebelum akhirnya masuk ke sistem drainase dan berakhir di sungai,” ujarnya.!break!

Pentingnya sinergitas

Direktur Eksekutif Indonesian Center for Environmental Law (ICEL) Henri Subagiyo mengungkapkan bahwa ada tiga persoalan utama dalam pencemaran sungai di Indonesia, yakni kepemimpinan pemerintah, kebijakan dan penegakan hukum.

“Sayangnya, tidak semua kepala daerah seperti Bu Risma dan Pak Ramdan. Ada yang pasif dan terus saja terkungkung dalam permasalahan tanpa berusaha mencari jalan keluar,” ucapnya.

Dalam upaya memperbaiki kualitas air sungai di Indonesia, inisiatif-inisiatif dari pemerintah daerah sangat diperlukan. Sebab, peran dan komitmen para kepala daerah dalam menyusun dan melaksanakan kebijakan pengendalian pencemaran air sungai sangat vital. Di sisi lain, pemerintah pusat sudah seyogyanya cepat tanggap terhadap permasalahan-permasalahan di daerah.

Warga tepian Sungai Martapura di Kalimantan Selatan telah berabad lamanya menempatkan sungai sebagai pekarangan depan rumah mereka. Namun, mereka sekaligus juga menempatkannya sebagai pekarangan belakang. (Mahandis Y. Thamrin/National Geographic Indonesia)

Selain itu, elemen yang tak boleh dilupakan ialah masyarakat. Masyarakat punya peran penting untuk menjaga sungai agar tetap bersih. Karena itu pemerintah harus melakukan pendekatan-pendekatan khusus agar masyarakat mau peduli dan terlibat dalam upaya mewujudkan sungai yang bersih.

Karli mengungkapkan, “Dengan adanya dialog seperti ini, kami jadi tahu kendala-kendala yang dihadapi daerah,” ujar. Menurutnya, penting untuk mengetahui hal-hal tersebut untuk menyusun strategi ke depannya. Karli juga berharap, terobosan-terobosan yang dilakukan Risma dan Ramdan dapat menjadi contoh bagi kepala daerah lain.