Pada permakaman Yahudi terbesar di Eropa terdapat makam-makam para penyair terkenal, pelukis, serta ilmuwan. Para peneliti berkunjung ke sana bukan untuk mencari makam mereka, namun kehidupan yang ada disana.
Ingo Kowarik, profesor ekologi tumbuhan di Technical University of Berlin, memimpin tim untuk melakukan penelitian pertama mengenai multi-taksonomi di permakaman kota.
Para peneliti menemukan lebih dari 600 spesies tumbuhan dan hewan yang normalnya ditemukan di bagian terdalam hutan, termasuk 64 spesies laba-laba, 39 spesies kumbang, lima jenis kelelawar, dan sejumlah pakis yang terancam punah.
Penelitian juga menemukan 72 spesies organisme yang berkembang perlahan di permukaan batu.
Penemuan ini menunjukkan permakaman kota memiliki lingkungan yang lebih baik untuk makhluk liar ketimbang taman, karena permakaman hanya didatangi sedikit orang, dan anjing-anjing yang menggongong membuat mereka merasa terlindungi dari kehidupan di luar pada malam hari.
"Menghormati orang-orang mati juga menghormati kondisi dari lingkungan yang berkembang di sekitar mereka," ujar Kowarik. "Yang menarik adalah di pusat kota, spesies yang hidup di hutan mampu bertahan."
'Kematian' Yang Menjadi Mulia
Permakaman Weissensee dibuka pada 1880 di Berlin. Di sana, 116.000 orang dimakamkan sebelum Perang Dunia II . Sejumlah nisan menunjukkan makam seorang politisi yang juga novelis, Stefan Heym, dan seorang pelukis impresionis Lesser Ury.
Meskipun permakaman di Berlin Timur mampu bertahan saat era Nazi Jerman dan perang, namun makam itu terbengkalai pada masa komunis.
"Karena sedikitnya orang Yahudi di Berlin, tidak ada usaha yang dilakukan untuk merawat permakaman itu," ujar Kowarik.
Sejak Jerman kembali bergabung pada 1990, Kowarik mengatakan bahwa terdapat sejumlah usaha yang dilakukan untuk konservasi permakaman tersebut, dan baru-baru ini pemerintah mencoba memasukan situs tersebut dalam Daftar Warisan Dunia UNESCO.
Ratusan hektare pemakamanan berubah menjadi ratusan bagian yang bervariasi, mulai dari usia mereka, manajemen, hingga tingkat vegetasi.
"Ketika saya melihatnya pertama kali tahun 1980-an, saya takjub dengan kombinasi budaya dan alam," ujar Kowarik. "Ini seperti hutan yang terbagi beberapa bagian, namun Anda akan selalu melihat lapisan budayanya."