Romansa Perjuangan dalam Imaji Perupa

By , Rabu, 3 Agustus 2016 | 10:30 WIB

"Aku tahu betul bahwa banyak aliran dalam lukisan dan setiap aliran mempunyai pengikut dan pengagumnya. Aku sendiri senang pada naturalisme, khususnya yang menonjolkan keindahan, apakah itu manusia, makhluk hidup, atau pun benda mati," kata Presiden Sukarno kepada ajudannya sekitar 1960-an.

Kemudian, Si Bung Besar itu melanjutkan perkataannya, "Setiap orang selalu ingin menunjukkan kebaikan atau pun keindahan dirinya, dan setiap benda betapa pun kecilnya mempunyai keindahannya pula. Aku senang menikmati keindahannya itu, keindahan yang dianugerahkan Tuhan kepada yang diciptakan-Nya." 

Bung Karno memang pecinta seni dan seorang seniman. Salah satu lukisan cat minyak di atas kanvasnya masih lestari dan menjadi koleksi Istana Kepresidenan. Lukisan itu bertajuk "Rini" menampilkan sosok perempuan berkebaya hijau muda, sekuntum bunga tersisip di rambutnya nan ikal. Dia merampungkannya pada Desember 1958, tatkala dia bertetirah di Bali. Banyak yang mencoba menerka dan mereka-reka tentang siapa sejatinya "Rini". Namun, tampaknya sampai sekarang pun masih misteri—mungkin hanya Si Bung dan Tuhan yang tahu.

Mikke Susanto, kurator pameran bertajuk '17/71: Goresan Juang Kemerdekaan' memberikan keterangan kepada para awak media tentang lukisan Sukarno yang berjudul "Rini". Hingga kini sosok yang digambarkan oleh Soekarno masih misterius. Awalnya lukisan ini merupakan sketsa kasar yang dibuat oleh Dullah saat diajak oleh Soekarno ke Bali. Namun, pada akhirnya Sukarno yang menyelesaikannya, tentu dengan banyak perbedaan dengan skesta awalnya, demikian kesaksian Dullah, sang pelukis istana.  (Rahmad Azhar/National Geographic Indonesia)

Untuk pertama kalinya, "Rini" dan lukisan-lukisan koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia dipamerkan untuk publik. Pameran itu bertajuk “17/71: Goresan Juang Kemerdekaan”. Pameran ini diselenggarakan di Galeri Nasional selama 1-30 Agustus 2016.

Perayaan Hari Kemerdekaan Republik Indonesia ke-71 menjadi momentum yang tepat untuk menapak tilas sejarah perjuangan bangsa dalam mencapai kemerdekaan. Lewat pagelaran pameran ini masyarakat Indonesia dapat menyelami kondisi sosial masyarakat masa revolusi, potret tokoh perjuangan, dan jejak mereka hingga 1950-an. 

Lukisan S. Sudjojono berjudul "Di Depan Kelambu Terbuka". Sang pelukis pernah mengatakan bahwa perempuan itu bernama Adhesi, pelacur di Pasar Senen, yang dilukisnya pada 1939, masa-masa akhir Hindia Belanda. Lukisan ini merupakan pionir dalam konteks tema dan ekspresi di dunia seni lukis Indonesia. (Rahmad Azhar/National Geographic Indonesia)

Sejak dulu, istana presiden menjadi ruang istimewa: museum benda-benda koleksi. Digelarnya pameran ini menandai keterbukaan istana kepresidenan bagi seluruh rakyat Indonesia. Karya-karya seni yang menjadi koleksi istana tersebut kini beralih dari benda koleksi lembaga yang hanya dapat ditonton segelintir orang, menjadi tontonan publik.

Secara umum, makna “Goresan Juang Kemerdekaan” adalah imaji, citraan, gambaran, visualisasi yang mengisahkan dan menuturkan kisah-kisah heroik, bersejarah, dan mengandung semangat untuk merdeka, bebas menuju sebuah tujuan, yakni negara berdaulat, adil dan makmur.

Koleksi lukisan yang dipamerkan berjumlah 28 karya, dari 20 pelukis, plus 1 presiden yang melukis. Lukisan-lukisan tersebut dibawa dari Istana Kepresidenan, Istana Negara, Istana Bogor, Istana Cipanas, dan Istana Yogyakarta.

Mikke Susanto, kurator pameran bertajuk '17/71: Goresan Juang Kemerdekaan' memberikan pemaparan terkait lukisan "Diponegoro" karya Sudjono Abdullah pada 1947.  Dua kurator pameran Mikke  dan Rizki A Zaelani telah selektif memilih karya menjadi 28 karya lukisan dari 15 ribuan karya yang terdapat istana di Jakarta, Bogor, maupun Yogyakarta. (Rahmad Azhar/National Geographic Indonesia)

"Pameran ini menautkan seni dan kemerdekaan. Keduanya disatukan oleh isu nasionalisme yang terus menerus berkembang dari waktu ke waktu,” demikian ungkap kurator pameran, Mikke Susanto dan Rizki A. Zaelani.

Seni, sebagai wadah ekspresi individu, merupakan salah satu wujud kemerdekaan. Sedangkan kemerdekaan merupakan hal mutlak yang harus dimiliki, bukan hanya dalam seni dan oleh  seniman, tetapi oleh semua insan di seluruh dunia. 

Sementara itu Menteri Sekretaris Negara, Pratikno, melihat bahwa melalui lukisan di era pra kemerdekaan, masyarakat diajak untuk memaknai betapa getirnya perjuangan merebut kemerdekaan. Harapannya, semangat yang tergores dalam lukisan tersebut dapat memotivasi masyarakat untuk melanjutkan perjuangan mengisi kemerdekaan.

Kondisi lukisan berjudul "Memanah" karya Henk Ngatung yang tak utuh lagi turut dipamerkan dalam dalam "17/71: Goresan Juang Kemerdekaan" di Galeri Nasional, Jakarta. Dari 28 karya lukis yang dipamerkan, hanya lukisan ini yang direproduksi ulang karena kondisinya  tak utuh lagi. (Rahmad Azhar/National Geographic Indonesia)

Sebagai bangsa yang dikaruniai warisan sejarah kebudayaan yang luhur, imbuh Pratikno, masyarakat Indonesia berkewajiban untuk dapat memaknai karya seni pada lingkup pemahaman yang lebih luas. “Karya seni, harus dapat kita maknai, tidak saja sebatas hasil kreativitas individu, namun juga sebagai bagian dari ornamen pembangunan.”

Pameran ini menjadi bagian penting dalam upaya pelestarian artefak warisan dunia, terutama bagi dunia seni rupa. Seluruh masyarakat tentu berharap dan menginginkan benda-benda koleksi Istana Kepresidenan Republik Indonesia akan abadi, tanpa dikotori dengan kisah tragis: rusak, hilang dicuri, maupun lenyap tak berbekas.