Oleh Didi Kaspi Kasim
Nationalgeographic.co.id—Kita adalah penerus Homo sapiens, yang hadir di muka planet ini 200.000 tahun silam. Kita bertahan hidup hingga hari ini melalui kemampuan untuk bekerja sama. Munculnya pertanian pada 10.000 tahun lalu mengubah gaya hidup manusia yang sebelumnya menggantungkan hidup pada kegiatan berburu dan mengumpulkan makanan dari tumbuhan liar. Saat ini, ada beragam populasi manusia dengan beragam cara penghidupan, bahasa, agama, dan bentuk kerja sama. Aspek-aspek unik dari pola makan, sejarah kehidupan, dan reproduksi manusia menjadikan kerja sama sebagai elemen penting dalam kehidupan manusia. Sejarah manusia telah menjelaskan begitu baik bagaimana kita dapat beradaptasi dan mengatasi tantangan kehidupan di Planet ini. Pola kehidupan dan reproduksi manusia terus berubah diikuti dengan berubahnya pula kondisi Bumi tempat kita bergantung hidup. Bumi yang semakin sesak telah mengubah tatanan masa depan. Tantangan-tantangan pun bermunculan. Bumi tak lagi mengatur bagaimana manusia beradaptasi kepada lingkungannya. Sebaliknya, kini kita memasuki epos ketika manusia yang menentukan bagaimana tatanan dan lanskap Planet ini di masa depan. Sepanjang perjalanan berkereta Jakarta-Semarang, saya menyaksikan sawah dan kebun mengisi pemandangan. Bentang alam nan hijau itu sedang menghadapi tantangan yang luar biasa. Iklim yang berubah dan gencarnya manusia yang lapar akan lahan baru untuk memuaskan kebutuhan.
Kampung Relokasi Nelayan Tambakrejo, Semarang, menjadi bukti dari tantangan berat yang dihadapi masyarakat bagi negeri dengan garis pantai terpanjang kedua di muka Bumi ini. Kampung ini sudah terendam air laut. Kita masih menyaksikan jejak pondasi-pondasi rumah yang menyembul di permukaan. Beruntung, warganya sudah direlokasi ke kawasan yang lebih tinggi untuk ditinggali. Mereka adalah nelayan yang tak punya banyak pilihan: Bergantung hidup pada kelestarian ekosistem pesisir.
Apa yang kita saksikan adalah gambaran kecil dari potret masyarakat pesisir negeri ini. Mereka adalah manusia-manusia yang berdiri di garis depan, orang-orang pertama yang akan merasakan dampak berubahnya tatanan iklim dunia. Mereka tidak cukup berharap dari perbaikan kebijakan. Mereka membutuhkan hadirnya sosok-sosok yang dapat menginspirasi, mengedukasi, dan melakukan perubahan bersama.
Seperti para leluhur, kita sedang dituntut untuk dapat berinovasi, beradaptasi, dan berkolaborasi untuk dapat memberi peluang baru bagi Bumi. Gerakan-gerakan akar rumputlah yang kami pikir bisa menyegerakan solusi untuk masa depan. Saya Pilih Bumi, Komunitas Bersuka Ria, dan Pelindo Marines mencoba hadir berkolaborasi menyegerakan solusi-solusi baru bagi kawasan pesisir. Kita berharap kolaborasi gerakan sosial dan pemangku kebijakan seperti ini akan membawa perubahan yang lebih baik di kampung-kampung pesisir—seperti Tambakrejo.
Pemberian bibit mangrove dan penanaman bersama warga merupakan sedikit upaya demi mengembalikan keseimbangan ekosistem pesisir. Kita bisa bersama-sama membangun pagar negeri yang lebih kuat untuk menghadapi tantangan perubahan iklim. Kami mengerti bahwa penanaman dan perbaikan pesisir seperti dalam kolaborasi ini tak akan menyelesaikan persoalan jangka pendek. Namun, langkah-langkah ini punya target jangka pendek untuk mengedukasi dan menyegerakan kolaborasi-kolaborasi di tingkat akar rumput.
Baca Juga: Dampak Perubahan Iklim pada Pasokan Produksi Budidaya Makanan Laut