Dua Mata Little Holland

By , Jumat, 12 Agustus 2016 | 14:00 WIB

Kereta sebentar lagi memasuki Stasiun Tawang, Semarang. Nyaris tak terlihat pemandangan apapun di luar jendela. Lampu-lampu berlarian meninggalkan kereta Argo Sindoro dari Jakarta.

Tengah malam, irama lagu itu sangat menentramkan hati dan tubuh yang berbalut penat. Lagu Gambang Semarang itu diciptakan oleh Eoi Yok Siang yang liriknya ditulis oleh Sidik Purnomo. Gambang Semarang sebenarnya adalah turunan dari gambang kromong di Jakarta.

Irama gambang Semarang rancak, mengentak dan terkesan humoristik. Ia adalah versi sederhana dari gambang kromong.

Gambang kromong adalah ekspresi rindu-dendam Cina Peranakan pada kesenian leluhurnya. Ia adalah musik hibrida akulturasi dari musik Cina, Betawi, Melayu, dan Deli. Namun sekarang gambang kromong sedikit berpentas. Begitu pula dengan riwayat gambang Semarang.

Kota Semarang adalah suatu kota bandar kosmpolit. Berbagai suku-bangsa tingga, bertegur-sapa, dan mencari penghidupan bersama-sama.

"Semarang, kota bandar kolonial par excellence pada 3 dasawarsa terakhir abad 19," jelas Theo Stevens, sejarawan. Menurut catatan sejarah para peziarah Cina, pada abad 14 telah tumbuh kota-kota pelabuhan di sepanjang peisir utara Jawa.

Kota Semarang adalah suatu kota bandar kosmpolit. Berbagai suku-bangsa tingga, bertegur-sapa, dan mencari penghidupan bersama-sama.

Kitab Negarakertagama pun menuliskan kenyataan serupa: pada zaman semasa telah tumbuh pusat-pusat perdagangan dengan komunikasi sampai mancanegara. Informasi paling awal dari Eropa, menyebutkan beberapa nama tempat yang masih akrab di telinga kita hingga sekarang, seperti Banten, Sunda Kelapa, Jepara, Tuban, dan Gresik.

Dalam Suma Oriental, Pires menerangkan bahwa tempat-tempat itu adalah pusat-pusat perdagangan luar negeri. Ia terkesan dengan kualitas pelabuah dan geliat aktivitas perekonomiannya.

Saat itu, Jepara adalah pelabuhan utama VOC di Jawa bagian tengah. Supermasi perdagangannya ialah ekspor produk pertanian, terutama beras. Jangkauan komersialnnya meliputi Asia dan sebagian Eropa. Pemerintah kolonial Belanda memindahkan kegiatan VOC ke Semarang. Sejak 1743, kota ini menjadi pusat pemerintahan kolonial Belanda di Jawa bagian tengah.

Sekitar tahun 1725, Francois Valentinjn mencatat bahwa Semarang adalah salah satu pelabuhan terbesar di Jawa dengan rumah-rumah yang baik dan didiami oleh para saudagar kaya.

"Di antara kota-kota di Jawa, Semarang tak diragukan lagi yang terbaik," ujar Franz Wilheim menerangkan kondisi Semarang pada awal 1840-an. Jalan Bojong (sekarang Jalan Pemuda), sepotong ruas Jalan Raya Pos, dideskripsikan sebagai sebuah jalan raya yang lebar dan lempang dengan pohon kenari dan asam di kedua sisinya, seperti di alam pedesaan Eropa.

Dalam Suma Oriental, Pires menerangkan bahwa tempat-tempat itu adalah pusat-pusat perdagangan luar negeri. Ia terkesan dengan kualitas pelabuah dan geliat aktivitas perekonomiannya.

Namun untuk seorang sastrawan Pramoedya Ananta Toer, Semarang meninggalkan kenangan tidak penting. Dia menuturkan pengalaman selintasnya dalam buku Jalan Raya Pos Jalan Daendels.

Depan Stasiun Tawang terdapat sebuah kolam raksasa yang dulunya adalah lapangan bola. Beberapa tahun silam, ia disulap menjadi polder untuk menampung air yang menggenangi kawasan Kota Lama setiap musim hujan tiba.