Dua Mata Little Holland

By , Jumat, 12 Agustus 2016 | 14:00 WIB

Kini kolam itu bermanfaat setelah ditebari ribuan bibit ikan. Komari, 44, seorang peternak ikan hias mencari kutu air mencari kutu air yang digunakan menjadi pakanan utama ikan cupang. Sebenarnya di kolam ini ada banyak ikan, seperti nila, lele, atau mujair.

Namun mereka tak tahan hidup lama. "Konsentrasi air di sini sering tidak tetap dan air comberan yang penuh polusi itu yang menyebabkan banyak ikan mati," ujar Komari.

Di Semarang, terdapat Jalan Cendrawasih, dimana pernah ada gedung opera nan megah bernama Marabunta. Para tuan-nyonya berdansa atau menikmati konser dengan mengenakan busana indah: tuksedo dan rok berumbai-rumbai, Tak lupa topi bertengger di kepala demi bergaya-gaya.

Ujung Jalan Cendrawasih adalah jalan Letjend. Suprapto yang merupakan salah satu ruas Jalan Raya Pos yang membentang dari Anyer hingga Panarukan sepanjang 1,000 km. Proyek raksasa itu dimulai oleh Herman Willem Daendels pada 1809. Panjangnya setara dengan jalan Amsterdam-Perancis.

Pram menyebut proyek ini sebagai sebuah bentuk genosida, yang mengutip dari sumber-sumber Inggris, menewaskan lebih dari 12,000 nyawa. Namun tak tampak bekas genosida itu. Yang ada kini adalah artefak-artefak bangunan kolonial beragam mazhab.

Menapaki Jalan Letjend. Suprapto ke arah barat, kira-kira seratus meter dari ujung jalan Cendrawasih, di kanan jalan ada sepetak tanah kosong. Itu merupakan lokasi Hotel Jansen. "Menurut cerita, mata-mata Perang Dunia I berjuluk Mata Hari pernah singgah dan bermalam di sana," kata Jongkie Tio, penulis buku Semarang City, a Glance into the Past.

Pram menyebut proyek ini sebagai sebuah bentuk genosida, yang mengutip dari sumber-sumber Inggris, menewaskan lebih dari 12,000 nyawa.

Terdapat toko serba ada Ziekel, yang pertama di era kolonial. Jendela-jendelanya besar dan lebar. Di sebelah kanannya berdiri megah Gereja Blenduk. Area sekitar itu adalah landmark Kota Lama.

Gereja Blenduk awalnya adalah gereja kecil yang dibangun pertama kali di Semarang oleh Revenrend J. Lipsus tahun 1750. Lima puluh empat tahun kemudian, 1794, gereja tersebut direnovasu oleh Ir. W. Westmaas dan Ir. H.P.A. de Wilde.

Gereja ini resminya bernama Gereja Immanuel, gereja umat Protestan di Indonesia Bagian Barat. Biasanya setelah kebaktian Minggu pagi beberapa anak akan bermain di Taman Srigunting.

Depan gereja tersebut terdapat sebuah bangungan indah bergaya kolonial yang dirancang oleh arsitek terkenal Thomas Karsten tahun 1916. Gedung ini dan hampir semua bangunan di Kota lama adalah objek fotografi yang indah.

Tak jauh dari sana, terdapat toko perhiasan dan jam ternama pada masa kolonial, yakni Juwelier & Horloger Ohlenroth. Maju sedikit adalah gedung kantor telegram milik PT Telkom Area IV Jateng dan DIY.

Di seberangnya terdapat toko buku, penerbit dan percetakan G.C.T. van Dorp. Van Dorp sendiri menerbitkan Soerat Kabar Bahasa Melajoe rendah Selompret Melaijoe pertama kalinya pada 3 Februari 1860.

Konon buku Door Duisternis Tot Licht karangan RA Kartini diterbitkan pertamakalinya di sini tahun 1911.

Menyusuri jalanan Kota Lama, mengamati gedung-gedungnya, serasa berada di masa kejayaan pemerintah kolonial Belanda. Entah kenapa sekarang kawasan ini tak lagi bersinar. Tak tahulah bagaimana caranya agar Kota Lama menemukan gairahnya kembali.