Langkah-langkah Menuju Kemerdekaan

By , Rabu, 17 Agustus 2016 | 18:00 WIB

KUIS:

Sebutkan perubahan naskah tulisan tangan Bung Karno dibanding Naskah Proklamasi yang diketik:

a. Kata "tempoh" menjadi "tempo"

b. Rangkaian "17-08-05" menjadi "Hari 17-08-05"

c. Rangkaian "Wakil-wakil bangsa Indonesia" menajdi "Atas nama bangsa Indonesia"

d. Betul semua

“Jawabannya mudah sekali. Bandingkan saja baik-baik kedua naskah ini. Bagai­mana? Ya, kalian memang pintar. Jawab­annya: d. Betul semua!”

Saya tak dapat menahan senyum le­bar memperhatikan Jaya, si pemandu, cer­­dik menghidupkan suasana. Siapa bi­lang kunjungan ke museum pastilah “ga­ring” (baca: membosankan)? Ini jadi keriaan kedua saya di sini. Tadi, begitu memasuki “Gedung Putih” ini, saya lang­sung terkesiap. Siap-siap menemui ke­su­nyian (baca: tiada pengunjung) di Mu­seum Perumusan Naskah Proklamasi, ta­­pi yang saya temui kejutan: di sudut Ru­ang I, di bawah lukisan, tuan rumah Laksa­mana Muda Tadhasi Maeda me­ne­rima Ir Soekarno, Drs Moh Hatta dan Mr Ahmad Soebardjo yang baru kembali dari ‘penculikan’ ke Rengas Dengklok, 16 Agustus 1945, pukul 22:00 mengutarakan rencana persiapan pernyataan kemer­de­­­ka­an Indonesia, bersimpulah tujuh bo­­cah putra-putri, seorang wanita mu­da—yang saya duga, sang guru—dan pri­a muda yang sedang menjelaskan isi mu­se­um dengan bersemangat lewat cara ber­­cerita tak biasa.

Hanya sekitar 1 m dari mereka, tertata se­perangkat kursi yang diduduki para to­koh dalam lukisan itu. Saya melayang ke lorong waktu. Peristiwa itu, tempat ini, nya­ta, di sini. Saya ikuti Jaya mengantar ibu guru Sulasmi Werdiningsih dan mu­rid-murid SD Laboratorium PGSD FIP UNJ itu beranjak ke Ruang II. Di sini, patung Soekarno, Hatta, Ahmad Soe­bardjo dalam ukuran sebenarnya duduk mengelilingi meja bundar kayu, meru­mus­kan Naskah Proklamasi RI pada pukul 03:00 dini hari, 17 Agustus 1945. Soe­karno menuliskan di secarik kertas, yang kini diproyeksikan di dinding.

Di Ruang III, jelang fajar, di meja per­segi panjang kayu  dan kursi-kur­si bersandaran tinggi seperti yang bia­sa kita lihat di film-film ksatria, ru­mus­an itu dibahas 29 tokoh—di antaranya Ki Hadjar Dewantara, R Otto Iskan­dar­di­na­ta. Setelah disepakati, beberapa kata dan ejaan dicoret dan diganti Berbekal se­ca­rik kertas itu, Sayuti Melik mengetik na­skah di mesin ketik pinjaman dari militer Jerman di ruang kecil, didampingi BM Diah. Selesai, naskah ketikan dibawa kem­­bali ke Ruang III untuk disahkan, ditan­datangani. Lalu dirundingkan, ka­­pan dan di manakah pernyataan kemer­dekaan itu akan dilakukan.

Dari ruang bawah yang nyaman—luas, lapang, antar ruang tanpa penyekat, pin­tu, jendela lebar berventilasi mem­be­bas­­kan udara masuk keluar, sejuk tanpa AC—kami meniti tangga ke lantai 2, me­ne­ngok kamar tidur dan kamar mandi yang dulu dipakai Maeda, Laksamana Je­­pang yang memahami betul keingin-an bangsa yang pernah didudukinya 3,5 tahun itu. Dari jendela dan balkon ba­ngunan Art Deco yang dibangun pada 1920-an ini kami bisa me­lepas pandang ke halaman belakang ber­pohon besar. Di pekarangannya ada lu­bang perlindungan!

Perumusan Naskah Proklamasi: oleh Bung Karno, Bung Hatta dan Mr Ahmad Soebardjo. (Toto Santiko Budi/National Geographic Traveler)

Dipandu Jaya, saya dan murid-murid  itu hati-hati menuruni tangga yang di­sen­derkan di dinding dalam “sumur” yang kemudian memiliki lorong tersisa 3 m. Konon, dulu lubang ini tembus hing­ga Taman Surapati di barat laut—un­tuk meloloskan diri. Oh, museum ini me­nyim­­pan petualangan!

Di bawah beringin tua yang be­litan akar gantungnya telah berpayung, sang guru dan para murid berfoto-foto di mu­ka rumah di daerah elite Menteng yang pada 1931 tercatat dimiliki PT Asu­ransi Jiwasraya dan saat Proklamasi berada di Jalan Miyako Dori itu. Saya merasa te­lah kenal lama dengan mereka, dan tak menampik ketika mereka mengajak meng­­ikuti petualangan dari mu­se­um ke museum dengan mikrolet se­waan. Kun­jungan berikutnya: Tugu Prok­lama­si!